Senin, 10 Mei 2010

Gambang Kromong

Pendahuluan
Gambang kromong dikenal sebagai musik tradisional Betawi. Gambang kromong sering ditanggap dalam suatu pesta perkawinan, untuk mengiringi para tamu yang hendak ngibing cokèk. Pertunjukan Lènong bukannya Lènong kalau tidak diiringi gambang kromong. Singkat kata, gambang kromong selalu ditampilkan dalam berbagai acara budaya Betawi dan sudah menjadi trade mark kota Jakarta.

Sejak dahulu memang kota Batavia telah dihuni oleh penduduk segala bangsa dari berbagai belahan dunia. Tak heran apabila kenyataan ini tercermin dalam musiknya yang juga kosmopolitan. Di antara sekian banyak penduduk yang sudah sejak lama bermukim di kota ini tentu saja yang pantas disebut adalah etnik Tionghoa.

Orang Tionghoa sudah sejak lama bermukim di kota ini. Waktu orang Belanda untuk pertama kalinya menginjakkan kaki mereka di Jayakarta, sudah ada suatu pemukiman Tionghoa di sebelah timur muara Ciliwung. Orang Tionghoa di Jakarta khususnya dan di Jawa umumnya berasal dari propinsi Hokkian (Fujian) di Cina selatan. Mulanya, hingga awal abad ke-20, yang datang hanya kaum laki-lakinya saja, laki-laki Tionghoa totok ini lalu menikahi perempuan setempat dan membentuk keluarga. Hasil perkawinan campur inilah yang kemudian membentuk komunitas Tionghoa peranakan (baba-nona). Kaum baba-nona ini tidak lagi berbahasa Tionghoa, melainkan Melayu, seperti kebanyakan penduduk kota ini. Mereka pun berbudaya campuran Tionghoa dan non Tionghoa (Melayu-Sunda) yang sangat khas Tionghoa peranakan.

Asal-usul
Gambang Kromong tercipta ketika orang-orang Tionghoa peranakan sudah semakin banyak di kota ini. Di waktu senggang mereka memainkan lagu-lagu Tionghoa dari kampung halaman moyang mereka di Cina dengan instrumen gesek Tionghoa su-kong, the-hian, dan kong-a-hian, bangsing (suling), kecrèk, dan ningning, dipadukan dengan gambang. Gambang diambil dari khazanah instrumen Indonesia digunakan menggantikan fungsi iang-khim, yakni semacam kecapi Tionghoa, tetapi dimainkan dengan semacam alat pengetuk yang dibuat dari bambu pipih.

Pada perkembangan selanjutnya, sekitar tahun 1880-an barulah orkestra gambang ditambah dengan kromong, kendang, kempul, goong, kecrèk. Dengan demikian terciptalah gambang kromong.

Dari pusat kota Batavia ketika itu, musik gambang kromong kemudian tersebar ke seluruh penjuru kota, hingga ia tidak hanya dikenal di Jakarta, tetapi juga sampai ke bagian utara Bogor, Tangerang dan Bekasi (Jabotabek) sekarang ini. Kawasan-kawasan tersebut memang merupakan area budaya Betawi.

Nada dan Laras
Seperti halnya musik Tionghoa dan kebanyakan musik Timur lainnya, gambang kromong hanya memakai lima nada (pentatonis) yang semuanya mempunyai nama dalam bahasa Tionghoa: sol (liuh), la (u), do (siang), re (che) dan mi (kong). Tidak ada nada fa dan si seperti dalam musik diatonis, yakni musik Barat utamanya.

Larasnya adalah salèndro yang khas Tionghoa sehingga disebut Salèndro Cina atau ada pula yang menyebutnya Salèndro Mandalungan. Dengan demikian semua instrumen dalam orkestra gambang kromong dilaras sesuai dengan laras musik Tionghoa, mengikuti laras Salèndro Cina tadi.

Untuk memainkan lagu-lagu pobin utamanya, para pemusik (panjak) gambang kromong pada awalnya harus mampu membaca noot-noot yang ditulis dalam aksara Tionghoa tersebut, namun akhirnya banyak panjak yang mahir memainkan lagu-lagu tersebut tanpa melihat noot-nya lagi karena sudah hafal.

Lagu Pobin
Lagu-lagu yang dibawakan oleh orkestra gambang kromong pada awalnya hanya lagu-lagu instrumentalia yang disebut lagu-lagu pobin. Lagu-lagu pobin dapat ditelusuri kepada lagu-lagu tradisional Tionghoa di bagian barat propinsi Hokkian (Fujian) di Cina selatan. Lagu-lagu pobin inilah yang kini merupakan lagu tertua dalam repertoar gambang kromong. Di antara lagu-lagu pobin yang kini masih ada yang mampu memainkannya, meskipun sudah sangat langka, adalah pobin Khong Ji Liok, Peh Pan Thau, Cu Te Pan, Cai Cu Siu, Cai Cu Teng, Seng Kiok, serta beberapa pobin lain yang khusus dimainkan untuk mengiringi berbagai upacara dalam pernikahan dan kematian Tionghoa tradisional.

Lagu Dalem
Setelah lagu-lagu pobin, mulai diciptakan lagu-lagu yang dinyanyikan. Lagu-lagu ini disebut lagu dalem. Lagu-lagu dalem ini dinyanyikan dalam bentuk pantun-pantun dalam bahasa Melayu Betawi. Di antara lagu-lagu dalem yang kini tinggal Masnah dan Ating (sebagian) yang masih mampu menyanyikannya antara lain: Poa Si Li Tan, Peca Piring, Semar Gunem, Mawar Tumpa, Mas Nona, Gula Ganting, Tanjung Burung, Nori Kocok (Burung Nori), dan Centé Manis Berdiri.

Lagu dalem berirama tenang dan jernih. Lagu dalem diciptakan bukan untuk ngibing (Sunda, menari), tetapi untuk mengetahui kualitas vokal seorang penyanyi. Dinyanyikan dalam suatu perhelatan untuk menghibur tamu-tamu yang tengah menikmati hidangan yang disuguhkan.

Wayang Cokèk
Penyanyi lagu-lagu dalem yang pada umumnya perempuan dikenal dengan istilah wayang cokèk. Menurut etimologinya istilah wayang singkatan dari istilah Melayu anak wayang, artinya ‘aktris,’ sedangkan cokèk berasal dari istilah Tionghoa dialek Hokkian chioun-khek yang artinya ‘menyanyi’ (to sing a song). Jadi, wayang cokèk mulanya hanya berprofesi sebagai penyanyi lagu-lagu dalem, bukan penari. Istilah wayang cokèk ini hingga kini masih digunakan di kalangan masyarakat pendukung kesenian gambang kromong di kawasan Teluk Naga, Tangerang, dan sekitarnya. Tidak dikenal istilah penari cokèk, sebab cokèk bukan tarian (nomina), tetapi menyanyi (verba).

Kostum yang dikenakan wayang cokèk aslinya adalah baju kurung yang panjangnya melampaui lutut, dengan bawahan celana panjang, terbuat dari dari bahan satin berwarna-warni ceria: merah, hijau dan lain-lain. Rambut mereka yang dikepang diikat dengan tali merah, lalu dilibatkan di kepala. Baru kemudian (sekitar tahun 1960-an) mereka memakai kebaya dan kain batik. Rambut mereka mulai dipotong pendek dan dikeriting.

Lagu Sayur
Setelah generasi lagu dalem yang kini telah menjadi lagu klasik gambang kromong, generasi selanjutnya adalah lagu-lagu yang disebut lagu sayur. Berbeda dengan lagu dalem, lagu sayur memang diciptakan untuk ngibing. Saat itu wayang cokèk bukan lagi hanya menyanyi menghibur para tamu, namun juga ngibing bersama tamu. Fungsi wayang cokèk telah meluas dari sekadar penyanyi menjadi penyanyi plus penari. Oleh sebab itu lagu sayur terdengar lebih riuh ditingkah oleh hentakan-hentakan kendang.

Kata kerja menari yang dilakukan baik oleh wayang cokèk maupun pasangannya disebut ngibing, dengan sejenis selendang yang disebut cukin (Hok.) atau sodèr (Sunda). Ngibing bersama wayang cokèk disebut ngibing cokèk. Gejala mulai maraknya ngibing ini mengindikasikan semakin kuatnya pengaruh budaya setempat (dalam hal ini Melayu dan Sunda/Jawa) di kalangan etnik Tionghoa peranakan, sebab jogèt dan nayuban bersama ronggèng juga dikenal dalam budaya Melayu dan Sunda/Jawa Lagu-lagu sayur sampai sekarang masih banyak yang mampu memainkannya, terutama di daerah Tangerang. Di antaranya adalah: Kramat Karem (Pantun dan Biasa), Ondé-ondé, Glatik Ngunguk, Surilang, Jali-jali (dalam berbagai versi: Ujung Mèntèng, Kembang Siantan, Pasar Malem, Kacang Buncis, Cengkarèng, dan Jago), Stambul (Satu, Dua, Serè Wangi, Rusak, dan Jalan), Pèrsi (Rusak, Jalan, dan Kocok), Centè Manis, Kodèhèl, Balo-balo, Rènggong Manis, Kakang Haji, Rènggong Buyut, Jeprèt Payung, Lènggang Kangkung, Kicir-kicir, dan Siri Kuning.

Selain itu ada beberapa lagu Sunda yang kerap dinyanyikan dalam pertunjukan gambang kromong: Awi Ngarambat, Gaplèk, Kembang Kacang, Kembang Beureum, Lampu Tèmpèl dan Wawayangan.

Liau Kulon dan Liau Wètan
Menurut beberapa narasumber yang penulis hubungi, dalam perkembangannya sekarang ini dikenal dua liau (‘gaya’) dalam musik gambang kromong: Liau Kulon (Barat) dan Liau Wètan (Timur). Sesuai namanya, Liau Kulon berkembang di Jakarta Barat sampai Tangerang sedangkan Liau Wètan di Jakarta Timur. Pada Liau Kulon masih lebih terasa pengaruh Betawinya, sedangkan Liau Wètan banyak dipengaruhi oleh ragam musik gamelan Sunda Gunung (Topèng) dan Tanjidor.

Perbedaan lain tampak dalam repertoar. Liau Kulon lebih sering memainkan lagu-lagu Jali-jali, Stambul dan Centè Manis. Pada Liau Wètan lagu-lagu seperti Kicir-kicir, Lènggang Kangkung dan Siri Kuning-lah yang sangat populer.

Tari
Sebagai informasi tambahan, di sini perlu penulis ketengahkan beberapa tari yang khas ibing cokèk. Tari-tarian ini sebenarnya masih sangat potensial untuk digali menjadi tari-tarian Betawi yang memang sudah sepantasnya diiringi gambang kromong, ketimbang tari-tarian yang sudah ada. Maksud penulis, beberapa tari Betawi yang sudah ada sekarang ini kelihatannya cenderung diambil, misalnya, dari tari-tarian yang dibawakan oleh ronggèng Topèng Betawi yang sebenarnya tak ada hubungannya dengan gambang kromong.

Lagu-lagu sayur biasanya dibawakan untuk mengiringi orang ngibing. Di antara lagu-lagu yang mempunyai tari (ibing) khusus yang pernah penulis saksikan adalah Balo-balo, Ondé-ondé dan Glatik Ngunguk. Dalam ibing Balo-balo, pada bagian tertentu lagu, wayang cokèk dan pasangannya berdiri saling membelakangi (ngadu pantat). Lagu Ondé-ondé diibingkan dengan saling bergantian turun naik, sedangkan Glatik Ngunguk dengan meloncat-loncat sambil berjongkok.

Maka tak ada salahnya apabila tari-tarian tersebut dijadikan sumber yang sudah selayaknya digali kembali untuk menambah keragaman tari Betawi. Untuk itu beberapa (mantan) wayang cokèk senior yang masih mampu ngibing dengan baik dapat dihubungi, sebelum tari-tarian tersebut punah dari muka bumi untuk selama-lamanya .

sumber: kampungbetawi.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar