Selasa, 11 Mei 2010

Ronggeng Blantek

Budaya Bekasi hampir punah. Penyebabnya tidak lain karena generasi ‘emoh’ untuk meneruskan kebiasaan-kebiasaan yang dulu di banggakan. Namun satu diantara budaya Bekasi yang masih eksis, tetapi sudah hampir terpinggirkan adalah Topeng.
Dengan sedikit modifikasi, Topeng Tambun atau yang biasa disebut dengan Topeng Blantek Bekasi kini dicoba eksistensinya lewat ekstrakurikuler untuk sekolah dasar (SD) dan SMP. Tarian lenggak-lenggok ini dulunya digunakan sebagai mata-mata pribumi pejuang Bekasi terhadap musuh. Biasanya dilakukan oleh gadis-gadis cantik yang memakai topeng.

Mereka berpakaian khas dengan warna-warni yang lebih ‘norak’. Mereka melakukannya dengan berkelompok. Sehingga tercipta goyangan-goyangan yang lebih terarah sekaligus menatau keadaan di sekitarnya. Saat ini topeng blantek Bekasi mulai digemari oleh siswa. Sebab selain eskul, Topeng/Ronggeng Blantek menjadi iringan setiap kegiatan di Bekasi.

Sedikitnya untuk melakukan ronggeng blantek, ada sekitar 30 gerakan yang harus dihapal. Menurut Ibu Maysaroh, S.Pd, pemandu seni tari di Kec. Bekasi Selatan, bahwa tari ronggeng blantek saat ini sudah dimodifikasi sedemikian rupa, hingga menarik minat baik terhadap penonton maupun pemainnya. “Bahkan saat ini sudah ada ‘pengdut’ atau topeng dangdut,” kata Bu May panggilan guru yang mengajar di SDN Margajaya VI.

Beberapa gerakan topeng/ronggeng blantek adalah; Rapat nindak, Koma, Talso, Pak blang, Koma, Selancar, Selancar tindak, Pak blang mundur 2x, Koma, Geol, Blang tur tangan kiri dipundak, tangan kanan diatas, Blang tur tangan kanan kiri atas, Puter goyang cendol hejo, puter, Kewer kanan, puter, Kewer Dobel/kiri kanan, puter, Kewer kanan dan koma putes.

Selanjutnya; Kayak pariasi, mulai tangan kanan 1,2,3 balik ganti tangan kiri 3x, Mincik, Ganjingan 2x + goyang pundak, Blong tur 6x, Blong tur pariasi, Mincik , Silat tepak 3/silat 1, Blenggo, Silat 2, Mincik, Gibang, Goyang kepala, dan Gibang pulang. Semua gerakan memakai istilah Bekasi.

Sedangkan sebagai pengiring ronggeng Blantek Bekasi diantaranya; Bonang, Kecrek, Saron, Gong, Gendang dan Rebab. “Para penabuh dan pemain pengiring/pemusik disebut Panjak,” timpal Burhaniawan, S.Pd guru SDN Margajaya V sekaligus Ketua KKG-KTK Bekasi Selatan.

Untuk pakaian ronggeng lebih kental pada warn anorak seperti merah, kuning, hijau dan biru. “Ini pengaruh dari kebudayaan China,” kata Burhan.

Ada 8 macam pakaian topeng blantek Bekasi, yakni; Kain pucuk rebung (sampur/batik tombak pesisir), Baju kebaya tangan susun (kebaya ¾ atau selontreng ¾, lengan tanggung dengan tiga lapis wiron dan tiga warna unsur ini mengambil pengaruh budaya keagamaan Hindu, Toka-toka (pasangan bersilang/toka-toka omyok dalam bahasa sunda).

Ampreng (penutup pinggul seukuran penutup pinggul biasanya ditaruh di depan), Andong/ampok (jenis ampreng) khusus dipakai sebelum ampreng/untuk ronggeng biasa dipakai andong rawis, Slendang, Konde cepol (sumpit) untuk menahan kembang topeng yang dipakai disanggul sebagai penopang, Kembang topeng (dipakai dikepala) bentuknya terdiri dari benang wol diikat dan dibentuk lingkaran sehingga membentuk bunga. Garis tegah antara 25-30 cm sedangkan lingkaran untuk sanggul 7 cm dan jarak antara sisi dengan lubang sanggul 3 cm. Sumpit ditusuk 2 buah menyilang disanggul untuk menopang kembang topeng.

Jika masih penasaran, datang saja ke Bekasi, terutama setiap hari Sabtu, disekolah SD pasti sedang pada latihan Topeng Blantek Bekasi.

sumber: komunitaspers.blog.dada.net

Tari Samrah

Berbeda dari tari blenggo yang mengutamakan gerakan-gerakan pencak silat, Samrah dilakukan berpasangan atau perorangan. Ia juga berbeda dari tari Betawi lainnya karena si penari melakukan gerakan jongkok yang disebit “salawi”, yaitu gerakan jongkok hampir seperti duduk bersila, yang hanya bisa dihasilkan dengan latihan yang tekun. Kesamaannya dengan gerakan tari Betawi lainnya adalah pada posisi tubuh agak membungkuk. Samrah juga tari pergaulan sebagaimana yang lainnya. Biasanya para penari samrah turun berpasang-pasangan dan berjoget diringi lagu seorang biduan, lagunya berupa pantun yang pada umumnya tentang cinta keagamaan dan cinta perempuan.

Dari iramanya, tari samrah terbagi dua. Pertama, yang berirama lembut, seperti tari Sawo Mateng, Musalma, dan Mamira. Kedua, berirama cepat, seperti tari bayang-bayang, Jali-jali, dan Cendrawasih. Adapun tokoh-tokoh yang berjasa mempertahankan tari samrah adalah Harun Rasyid, Jajang S, Ali Sabeni, bahkan Firman Muntaco selaku penulis cerita pendek dan budayawan Betawi.

sumber: disparbuddki.info

Topeng Blantek

Sebagai sarana belajar para pemain di bidang teater, pada masa yang lalu Blantek sering dijadikan bahan ejekan para pemain topeng yang
mahir. Permainan topeng yang kurang baik, biasanya di ejek dengan sebutan seperti "Topeng Blantek".



Pada perkembangan kemudian Blantek memperoleh identitas yang mudah dibedakan dengan jenis teater lainnya, yaitu dengan hanya menggunakan orkes Rebana Biang sebagai musik pengiringnya, dengan membawakan lagu-Iagu "dikir" pada awal pertunjukannya.

Lazimnya pertunjukan Blantek merupakan sebuah tontonan yang sederhana, tanpa dekor. Teknik bermainnya juga bersahaja, sebagaimana tampak pada rombongan-rombongan Blantek yang terdapat di beberapa, tempat seperti Cijantung pimpinan Nasir Boyo, di Ciseeng pimpinan Saiman, di Cilodong pimpinan Saaman dan di Bojong Gede pimpinan Pilih. Dari beberapa segi tampak ada persamaan dengan Topeng Betawi, ada juga yang menunjukan Giri ke-Ienong-Ienongan. Sebagaimana umumnya teater rakyat, ciri utama Blantek adalah lagu, akrab dengan penonton di sekelilingnya dan tanpa formalitas, tanpa memiliki disiplin waktu. Tontonan ini merupakan percampuran antara tari lepas, nyanyian, guyonan, penampilan lakon dan kadang-kadang ada juga sulapannya seperti yang dilakukan oleh rombongan Blantek dari Ciseeng pimpinan Saiman.

Daerah penyebaran Blantek berbatasan dengan wilayah budaya Sunda, yaitu di daerah Selatan dan timur DKI Jakarta dan di beberapa tempat dalam wilayah Kabupaten bogor.



referensi :DINAS KEBUDAYAAN DAN PERMUSEUMAN PROPINSI DKI JAKARTA, Ikhtisar Kesenian Betawi, 2003

sumber :DINAS PARIWISATA DAN KEBUDAYAAN

sumber: jakarta.go.id

Senin, 10 Mei 2010

Wayang Cokek

Konon kata cokek berarti penyanyi merangkap penari, yang biasa dipanggil untuk memeriahkan sesuatu hajatan atau perayaan. Kecuali menyemarakkan suasana pesta dengan nyanyian dan tarian, para cokek itu biasanya pula membantu para tamu dalam perjamuan, misalnya menuangkan minuman kedalam gelas, menambah nasi atau lauk pauk dan sebagainya dengan sikap yang luwes karena memang cukup terlatih untuk keperluan itu. Pada perkembangan kemudian, cokek diartikan sebagai tarian pergaulan yang di iringi orkes Gambang Kromong, dengan penari-penari wanita yang disebut "wayang cokek", dengan mendapat imbalan uang. Para tamu diberi kesempatan yang luas untuk ikut menari berpasangan dengan cokek-cokek itu. Orang Betawi menamakannya "ngibing cokek". Sebelum dan selama ngibing mereka disodori minuman keras, untuk menambah semangat menari, seperti misalnya tari Tayub di Jawa Tengah.





Menurut beberapa keterangan, tari Cokek padajaman dahulu dibina dan dikembangkan tuan-tuan tanah Cina yang kaya raya. Sampai sebelum Perang Dunia ke dua kelompok kesenian ini dimiliki oleh "cukong-cukong" golongan Cina peranakan. Cukong-cukong inilah yang membiayai penghidupan para seniman Gambang Kromong dan para penari Cokek. Bahkan ada pula yang menyediakan perumahan tempat tinggal khusus bagi mereka. Dewasa ini sudah tidak ada lagi yang secara tetap menjamin kehidupan dan penghasilan mereka.



Sebagai tarian pembukaan pada tari Cokek ialah "wawayangan", Para penari cokek berjejer memanjang sambil melangkah maju mundur mengikuti irama gambang kromong. Rentangan tangannya setinggi bahu meningkah gerakan kaki. Setelah itu mereka mengajak menari kepada yang hadir dengan mengalungkan selendang. Penyerahan selendang biasanya dilakukan kepada tamu yang dianggap paling terhormat. Bila yang diserahi selendang itu bersedia mengibing, maka mulailah mereka menari secara berpasang-pasangan. Tiap pasang berhadapan pada jarak dekat tetapi tidak saling bersentuhan. Dalam beberapa lagu ada pula pasangan penari itu yang saling membelakangi. Kalau tempatnya cukup luas, atau pasangan yang menari tidak terlalu banyak, kadang-kadang ada gerakan memutar dalam lingkaran yang cukup luas. Setelah selesai "ngibing" para pengibing pria memberikan imbalan beberapa uang sekedarnya kepada penari cokek yang melayaninya.



Pakaian "wayang cokek" pada masa-masa yang belum lama berselang berbentuk khas, terdiri atas baju kurung dan celana panjang dari bahan semacam sutra berwarna. Ada yang berwarna merah menyala, hijau, ungu, kuning dan sebagainya, semuanya polos dan menyolok. Di ujung sebelah bawah biasanya diberi pula hiasan dengan kain berwarna yang serasi. Selembar selendang panjang terikat pada pinggang dengan kedua ujungnya terurai ke bawah. Rambutnya tersisir rapi licin ke belakang. Ada pula yang dikepang kemudian di sanggulkan yang bentuknya tidak begitu besar, dihias dengan tusuk konde bergoyang-goyang. Disamping itu diberi pula hiasan benang wol dikepang atau dirajut yang menurut istilah setempat disebut "burung hong".
Pada masa lalu penanggap tari cokek terbatas pada masyarakat Betawi keturunan Cina, sehingga disebut "hiburan babah". Dewasa ini digemari pula oleh masyarakat lainnya, untuk memeriahkan berbagai pesta, terutama pesta perkawinan. Seperti halnya orkes gambang kromong, tari Cokek termasuk kesenian yang paling luas penyebarannya dalam wilayah budaya Betawi. Grup gambang kromong dianggap tidak lengkap tanpa "wayang Cokek"
Referensi : Dinas Kebudayaan Dan Permuseuman Propinsi DKI Jakarta, Ikhtisar Kesenian Betawi, 2003
Sumber : Dinas Pariwisata Dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta.

Sumber: jakarta.go.id

Sahibul Hikayat

Sastra lisan yang tergolong sahibul hikayat dalam tulisan ini, ialah cerita-cerita yang berasal dari Timur tengah, antara lain bersumber pada cerita Seribu Satu Malam, Alfu Lail Wal lail. Istilah Sahibul Hikayat yang berarti yang empunya cerita. Dalam Arab : Shohibul Hikayat yang berarti yang empunya cerita. Dalam

membawakan cerita sahibul hikayat juru hikayat sering mengucapkan kata-kata :"Menurut sohibul hikayat", atau kata "sahibul hikayat". oleh karena itu cerita-cerita kelompok ini biasa disebut sahibul hakiyat. Ucapkan demikian itu digunakan untuk memberikan tekanan kepada yang akan diceritakan selanjutnya, yang kadang-kadang merupakan hal yang tidak masuk akal, contohnya sebagai cuplikan berikut."



"..........Jin itu menaroh anaknya di ayunan, Sembari nyanyi di ayun, maksudnya supaya anaknya tidur. Kata Sohibul hikayat, ayuanan itu baru balik sembilan taon kemudian.........." (Diambil dari salah satu mata acara radio swaasta).

Dengan kata-kata sahibul hikayat itu pertanggung jawaban diserahkankepada yang empunya cerita, yang entah siapa. Sahibul hikayat terdapat di daerah tengah wilayah Budaya Betawi atau Betawi kota, antara Tanah Abang dengan Salemba, antara Mampang Prapatan sampai Taman Sari. Pembawa cerita sahibul hikayat, biasa disebut tukang cerita, atau juru hikayat. Juru hikayat yang terkenal pada masa lalu, antara lain haji Ja'far, Haji Ma'ruf kemudian Mohammad Zahid, yang terkenal dengan sebutan " wak Jait". Pekerjaan sehari-hari wak jait selalu mengenakan kain pelekat, berbaju potongan sadariah, berpeci hitam.

Juru hikayat biasanya bercerita sambil duduk bersila, ada yang sambil memengku bantal, ada pula yang sekali-kali memukul gendang kecil yang diletakkan disampingnya, untuk memberikan aksentuasi pada jalan cerita. Sampai jaman Mohammad Zahid yang meninggal dalam usia 63 tahun, pada tahun 1993, cerita-cerita yang biasa dibaawakan antara lain Hasan Husin, Malakarma, Indra sakti, Ahmad Muhamad, sahrul Indra Laila bangsawan. sahibul hikayat digemari oleh masyarakat golongan santri. Dewasa ini biasa digunakan sebagai salah satu media dakwah. Dengan demikian, sahibul hikayat menjadi panjang, karena banyak ditambah bumbu-bumbu. Humor yang diselipkan disana-sini biasanya bersifat improvisatoristis. Kadang-kadang menyinggung-nyinggung suasana masa kini. Setiap celah-celah dalam jalur cerita diselipakan dakwah agama islam. Seperti cerita rakyat lainnya, sahibul hikayat bertema pokok klasik, yaitu kejahatan melawan kebajikan. Sudah barang tentu kebajikan yang menang, sekalipun pada mulanya nampak sengaja dibuat menderita kekalahan.



referensi :DINAS KEBUDAYAAN DAN PERMUSEUMAN PROPINSI DKI JAKARTA, Ikhtisar Kesenian Betawi, 2003

sumber :DINAS PARIWISATA DAN KEBUDAYAAN

sumber: jakarta.go.id

Jipeng

Kata "Jipeng" merupakan akronim dari kata "Tanji" dan kata "Topeng".Dengan kata lain, Jipeng aqalah Topeng dengan iringan orkes Tanjidor.Dengan demikian tata cara pergelarannya pun tidak banyak berbeda dengan tata cara pagelaran Topeng.

Perbedaannya antara lain pada waktu awal pertunjukan. Bilamana Topeng membawakan lagu-Iagu "arangarangan dan enjot-enjotan dan sebagainya diiringi gamelannya, Jipengmembawakan lagu-Iagu yang menurut istilah setempat disebut lagu-Iagu mars dan was (mungkin berasal dari kata Wals) seperti lagu-Iagu "Kramton, Bataliyon, Was Taktak" dan lain sebagainya, diiringi oleh orkes Tanjidor. Untuk mengiringi tarian yang bentuknya tidak begitu berbeda dari tarian pada pertunjukan topeng kadang-kadang orkes tanjidor diganti dengan kromong tiga pencon, gendang, kecrek, kempul, suling, kempul dan gong buyung. Sering pula terjadi digunakannya orkes tanjidor sebagai pengiring tari dalam pertunjukan Jipeng. Pakaian penari Jipeng cukup dengan kebaya, kain panjang disertai selendang panjang di ikatkan pada pinggang, berbeda dengan pakaian penari Topeng seperti digambarkan di bagian terdahulu. Cerita-cerita yang biasa dibawakan dalam Jipeng juga tidak banyak berbeda dengan cerita-cerita yang biasa dibawakan oleh rombongan Topeng. Ada pula yang membawakan cerita-cerita seperti "Sultan Majapahit, "Perabu Siliwangi", "Babat Bogor", "Sinden Siluman", "Rindon Jago Kerawang" dan lain-lain sebagainya.
Untuk menambah pemeran tokoh wanita, sering dilakukan oleh pria berpakaian seperti wanita. Selain untuk lebih menarik perhatian penonton juga demi kepentingan "banjolan". Penyebaran Jipeng terbatas di daerah pinggiran wilayah budaya Betawi, dimana terdapat orkes Tanjidor, seperti di Cilodong, Kampung Setu, Tambun, Ciseeng dan sebagainya.





referensi :DINAS KEBUDAYAAN DAN PERMUSEUMAN PROPINSI DKI JAKARTA, Ikhtisar Kesenian Betawi, 2003

sumber :DINAS PARIWISATA DAN KEBUDAYAAN

sumber: jakarta.go.id

Jinong

Teater Betawi bergaya Lenong dengan orkes tanjidor sebagai musik penggiringnya dinamai jinong. Kecuali alat musik penggiringnya itu, pada umumnya jinong sama bentuknya dengan lenong preman atau wayang si ronda.

Biasanya siang hari, menjelang malam pertunjukan jinong, sejak jam 9 pagi sampai waktu menjelang Maghrib, ditempat orang hajatan yang bersangkutan diperdengarkan lagu-Iagu tanjidor, baik instrumentalia maupun disertai vokal. Upacara ritual, seperti pembakaran dupa, penyediaan sesajen serba tujuh rupa, berlaku seperti pada penyelenggaraan lenong. Tahap-tahap pertunjukan jinong adalah sebagai berikut : Pertama, penyajian musik instrumentalia dengan lagu-Iagu "Mares" dan lagu-Iagu "Was", lagu-Iagu Sunda gunung seperti "Bangket", "Kang Aji", "Oncom Lele" dan sebagainya, diteruskan dengan lagu-Iagu gaya gambang kromong atau dewasa ini sering pula dibawakan lagulagu dangdut. Ini merupakan pertanda pertunjukan akan dimulai, seolaholah mempersilahkan penonton untuk mendekati tempat pertunjukan. Kemudian dipertunjukan tarian, yang menurut istilah setempat disebut "Tari Jinong", diiringi lagu-Iagu seperti yang sesuai dibawakan orkes gambang kromong, antara lain lagu-Iagu "Persi", "Jali-jali", "Gelatik Nguknguk" dan sebagainya. Gerak tarinya sederhana sekali, seperti umumnya gerak tari cokek, dengan rentangan tangan lebih rendah dari bahu. Cerita-cerita yang dibawakan umumnya sama dengan cerita-cerita yang biasa dibawakan Ienang preman atau wayang si ronda, yaitu ceritacerita jagoan, seperti "Si Jampang", "Si Angkri Jago Pasar Ikan" dan sebagainya. Tokoh-tokoh Jinong dewasa ini yang tercatat antara lain Orok di Pondok Rajeg, Warta di Cijantung, Liang di Parung. Semasa masih hidup, Nyaat di Cijantung juga sering mendapat panggilan untuk menyelenggarak pertunjukkan Jinong.



referensi :DNAS KEBUDAYAAN DAN PERMUSEUMAN PROPINSI DKI JAKARTA, Ikhtisar Kesenian Betawi, 2003

sumber :DINAS PARIWISATA DAN KEBUDAYAAN

sumber: jakarta.go.id