Selasa, 11 Mei 2010

Ronggeng Blantek

Budaya Bekasi hampir punah. Penyebabnya tidak lain karena generasi ‘emoh’ untuk meneruskan kebiasaan-kebiasaan yang dulu di banggakan. Namun satu diantara budaya Bekasi yang masih eksis, tetapi sudah hampir terpinggirkan adalah Topeng.
Dengan sedikit modifikasi, Topeng Tambun atau yang biasa disebut dengan Topeng Blantek Bekasi kini dicoba eksistensinya lewat ekstrakurikuler untuk sekolah dasar (SD) dan SMP. Tarian lenggak-lenggok ini dulunya digunakan sebagai mata-mata pribumi pejuang Bekasi terhadap musuh. Biasanya dilakukan oleh gadis-gadis cantik yang memakai topeng.

Mereka berpakaian khas dengan warna-warni yang lebih ‘norak’. Mereka melakukannya dengan berkelompok. Sehingga tercipta goyangan-goyangan yang lebih terarah sekaligus menatau keadaan di sekitarnya. Saat ini topeng blantek Bekasi mulai digemari oleh siswa. Sebab selain eskul, Topeng/Ronggeng Blantek menjadi iringan setiap kegiatan di Bekasi.

Sedikitnya untuk melakukan ronggeng blantek, ada sekitar 30 gerakan yang harus dihapal. Menurut Ibu Maysaroh, S.Pd, pemandu seni tari di Kec. Bekasi Selatan, bahwa tari ronggeng blantek saat ini sudah dimodifikasi sedemikian rupa, hingga menarik minat baik terhadap penonton maupun pemainnya. “Bahkan saat ini sudah ada ‘pengdut’ atau topeng dangdut,” kata Bu May panggilan guru yang mengajar di SDN Margajaya VI.

Beberapa gerakan topeng/ronggeng blantek adalah; Rapat nindak, Koma, Talso, Pak blang, Koma, Selancar, Selancar tindak, Pak blang mundur 2x, Koma, Geol, Blang tur tangan kiri dipundak, tangan kanan diatas, Blang tur tangan kanan kiri atas, Puter goyang cendol hejo, puter, Kewer kanan, puter, Kewer Dobel/kiri kanan, puter, Kewer kanan dan koma putes.

Selanjutnya; Kayak pariasi, mulai tangan kanan 1,2,3 balik ganti tangan kiri 3x, Mincik, Ganjingan 2x + goyang pundak, Blong tur 6x, Blong tur pariasi, Mincik , Silat tepak 3/silat 1, Blenggo, Silat 2, Mincik, Gibang, Goyang kepala, dan Gibang pulang. Semua gerakan memakai istilah Bekasi.

Sedangkan sebagai pengiring ronggeng Blantek Bekasi diantaranya; Bonang, Kecrek, Saron, Gong, Gendang dan Rebab. “Para penabuh dan pemain pengiring/pemusik disebut Panjak,” timpal Burhaniawan, S.Pd guru SDN Margajaya V sekaligus Ketua KKG-KTK Bekasi Selatan.

Untuk pakaian ronggeng lebih kental pada warn anorak seperti merah, kuning, hijau dan biru. “Ini pengaruh dari kebudayaan China,” kata Burhan.

Ada 8 macam pakaian topeng blantek Bekasi, yakni; Kain pucuk rebung (sampur/batik tombak pesisir), Baju kebaya tangan susun (kebaya ¾ atau selontreng ¾, lengan tanggung dengan tiga lapis wiron dan tiga warna unsur ini mengambil pengaruh budaya keagamaan Hindu, Toka-toka (pasangan bersilang/toka-toka omyok dalam bahasa sunda).

Ampreng (penutup pinggul seukuran penutup pinggul biasanya ditaruh di depan), Andong/ampok (jenis ampreng) khusus dipakai sebelum ampreng/untuk ronggeng biasa dipakai andong rawis, Slendang, Konde cepol (sumpit) untuk menahan kembang topeng yang dipakai disanggul sebagai penopang, Kembang topeng (dipakai dikepala) bentuknya terdiri dari benang wol diikat dan dibentuk lingkaran sehingga membentuk bunga. Garis tegah antara 25-30 cm sedangkan lingkaran untuk sanggul 7 cm dan jarak antara sisi dengan lubang sanggul 3 cm. Sumpit ditusuk 2 buah menyilang disanggul untuk menopang kembang topeng.

Jika masih penasaran, datang saja ke Bekasi, terutama setiap hari Sabtu, disekolah SD pasti sedang pada latihan Topeng Blantek Bekasi.

sumber: komunitaspers.blog.dada.net

Tari Samrah

Berbeda dari tari blenggo yang mengutamakan gerakan-gerakan pencak silat, Samrah dilakukan berpasangan atau perorangan. Ia juga berbeda dari tari Betawi lainnya karena si penari melakukan gerakan jongkok yang disebit “salawi”, yaitu gerakan jongkok hampir seperti duduk bersila, yang hanya bisa dihasilkan dengan latihan yang tekun. Kesamaannya dengan gerakan tari Betawi lainnya adalah pada posisi tubuh agak membungkuk. Samrah juga tari pergaulan sebagaimana yang lainnya. Biasanya para penari samrah turun berpasang-pasangan dan berjoget diringi lagu seorang biduan, lagunya berupa pantun yang pada umumnya tentang cinta keagamaan dan cinta perempuan.

Dari iramanya, tari samrah terbagi dua. Pertama, yang berirama lembut, seperti tari Sawo Mateng, Musalma, dan Mamira. Kedua, berirama cepat, seperti tari bayang-bayang, Jali-jali, dan Cendrawasih. Adapun tokoh-tokoh yang berjasa mempertahankan tari samrah adalah Harun Rasyid, Jajang S, Ali Sabeni, bahkan Firman Muntaco selaku penulis cerita pendek dan budayawan Betawi.

sumber: disparbuddki.info

Topeng Blantek

Sebagai sarana belajar para pemain di bidang teater, pada masa yang lalu Blantek sering dijadikan bahan ejekan para pemain topeng yang
mahir. Permainan topeng yang kurang baik, biasanya di ejek dengan sebutan seperti "Topeng Blantek".



Pada perkembangan kemudian Blantek memperoleh identitas yang mudah dibedakan dengan jenis teater lainnya, yaitu dengan hanya menggunakan orkes Rebana Biang sebagai musik pengiringnya, dengan membawakan lagu-Iagu "dikir" pada awal pertunjukannya.

Lazimnya pertunjukan Blantek merupakan sebuah tontonan yang sederhana, tanpa dekor. Teknik bermainnya juga bersahaja, sebagaimana tampak pada rombongan-rombongan Blantek yang terdapat di beberapa, tempat seperti Cijantung pimpinan Nasir Boyo, di Ciseeng pimpinan Saiman, di Cilodong pimpinan Saaman dan di Bojong Gede pimpinan Pilih. Dari beberapa segi tampak ada persamaan dengan Topeng Betawi, ada juga yang menunjukan Giri ke-Ienong-Ienongan. Sebagaimana umumnya teater rakyat, ciri utama Blantek adalah lagu, akrab dengan penonton di sekelilingnya dan tanpa formalitas, tanpa memiliki disiplin waktu. Tontonan ini merupakan percampuran antara tari lepas, nyanyian, guyonan, penampilan lakon dan kadang-kadang ada juga sulapannya seperti yang dilakukan oleh rombongan Blantek dari Ciseeng pimpinan Saiman.

Daerah penyebaran Blantek berbatasan dengan wilayah budaya Sunda, yaitu di daerah Selatan dan timur DKI Jakarta dan di beberapa tempat dalam wilayah Kabupaten bogor.



referensi :DINAS KEBUDAYAAN DAN PERMUSEUMAN PROPINSI DKI JAKARTA, Ikhtisar Kesenian Betawi, 2003

sumber :DINAS PARIWISATA DAN KEBUDAYAAN

sumber: jakarta.go.id

Senin, 10 Mei 2010

Wayang Cokek

Konon kata cokek berarti penyanyi merangkap penari, yang biasa dipanggil untuk memeriahkan sesuatu hajatan atau perayaan. Kecuali menyemarakkan suasana pesta dengan nyanyian dan tarian, para cokek itu biasanya pula membantu para tamu dalam perjamuan, misalnya menuangkan minuman kedalam gelas, menambah nasi atau lauk pauk dan sebagainya dengan sikap yang luwes karena memang cukup terlatih untuk keperluan itu. Pada perkembangan kemudian, cokek diartikan sebagai tarian pergaulan yang di iringi orkes Gambang Kromong, dengan penari-penari wanita yang disebut "wayang cokek", dengan mendapat imbalan uang. Para tamu diberi kesempatan yang luas untuk ikut menari berpasangan dengan cokek-cokek itu. Orang Betawi menamakannya "ngibing cokek". Sebelum dan selama ngibing mereka disodori minuman keras, untuk menambah semangat menari, seperti misalnya tari Tayub di Jawa Tengah.





Menurut beberapa keterangan, tari Cokek padajaman dahulu dibina dan dikembangkan tuan-tuan tanah Cina yang kaya raya. Sampai sebelum Perang Dunia ke dua kelompok kesenian ini dimiliki oleh "cukong-cukong" golongan Cina peranakan. Cukong-cukong inilah yang membiayai penghidupan para seniman Gambang Kromong dan para penari Cokek. Bahkan ada pula yang menyediakan perumahan tempat tinggal khusus bagi mereka. Dewasa ini sudah tidak ada lagi yang secara tetap menjamin kehidupan dan penghasilan mereka.



Sebagai tarian pembukaan pada tari Cokek ialah "wawayangan", Para penari cokek berjejer memanjang sambil melangkah maju mundur mengikuti irama gambang kromong. Rentangan tangannya setinggi bahu meningkah gerakan kaki. Setelah itu mereka mengajak menari kepada yang hadir dengan mengalungkan selendang. Penyerahan selendang biasanya dilakukan kepada tamu yang dianggap paling terhormat. Bila yang diserahi selendang itu bersedia mengibing, maka mulailah mereka menari secara berpasang-pasangan. Tiap pasang berhadapan pada jarak dekat tetapi tidak saling bersentuhan. Dalam beberapa lagu ada pula pasangan penari itu yang saling membelakangi. Kalau tempatnya cukup luas, atau pasangan yang menari tidak terlalu banyak, kadang-kadang ada gerakan memutar dalam lingkaran yang cukup luas. Setelah selesai "ngibing" para pengibing pria memberikan imbalan beberapa uang sekedarnya kepada penari cokek yang melayaninya.



Pakaian "wayang cokek" pada masa-masa yang belum lama berselang berbentuk khas, terdiri atas baju kurung dan celana panjang dari bahan semacam sutra berwarna. Ada yang berwarna merah menyala, hijau, ungu, kuning dan sebagainya, semuanya polos dan menyolok. Di ujung sebelah bawah biasanya diberi pula hiasan dengan kain berwarna yang serasi. Selembar selendang panjang terikat pada pinggang dengan kedua ujungnya terurai ke bawah. Rambutnya tersisir rapi licin ke belakang. Ada pula yang dikepang kemudian di sanggulkan yang bentuknya tidak begitu besar, dihias dengan tusuk konde bergoyang-goyang. Disamping itu diberi pula hiasan benang wol dikepang atau dirajut yang menurut istilah setempat disebut "burung hong".
Pada masa lalu penanggap tari cokek terbatas pada masyarakat Betawi keturunan Cina, sehingga disebut "hiburan babah". Dewasa ini digemari pula oleh masyarakat lainnya, untuk memeriahkan berbagai pesta, terutama pesta perkawinan. Seperti halnya orkes gambang kromong, tari Cokek termasuk kesenian yang paling luas penyebarannya dalam wilayah budaya Betawi. Grup gambang kromong dianggap tidak lengkap tanpa "wayang Cokek"
Referensi : Dinas Kebudayaan Dan Permuseuman Propinsi DKI Jakarta, Ikhtisar Kesenian Betawi, 2003
Sumber : Dinas Pariwisata Dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta.

Sumber: jakarta.go.id

Sahibul Hikayat

Sastra lisan yang tergolong sahibul hikayat dalam tulisan ini, ialah cerita-cerita yang berasal dari Timur tengah, antara lain bersumber pada cerita Seribu Satu Malam, Alfu Lail Wal lail. Istilah Sahibul Hikayat yang berarti yang empunya cerita. Dalam Arab : Shohibul Hikayat yang berarti yang empunya cerita. Dalam

membawakan cerita sahibul hikayat juru hikayat sering mengucapkan kata-kata :"Menurut sohibul hikayat", atau kata "sahibul hikayat". oleh karena itu cerita-cerita kelompok ini biasa disebut sahibul hakiyat. Ucapkan demikian itu digunakan untuk memberikan tekanan kepada yang akan diceritakan selanjutnya, yang kadang-kadang merupakan hal yang tidak masuk akal, contohnya sebagai cuplikan berikut."



"..........Jin itu menaroh anaknya di ayunan, Sembari nyanyi di ayun, maksudnya supaya anaknya tidur. Kata Sohibul hikayat, ayuanan itu baru balik sembilan taon kemudian.........." (Diambil dari salah satu mata acara radio swaasta).

Dengan kata-kata sahibul hikayat itu pertanggung jawaban diserahkankepada yang empunya cerita, yang entah siapa. Sahibul hikayat terdapat di daerah tengah wilayah Budaya Betawi atau Betawi kota, antara Tanah Abang dengan Salemba, antara Mampang Prapatan sampai Taman Sari. Pembawa cerita sahibul hikayat, biasa disebut tukang cerita, atau juru hikayat. Juru hikayat yang terkenal pada masa lalu, antara lain haji Ja'far, Haji Ma'ruf kemudian Mohammad Zahid, yang terkenal dengan sebutan " wak Jait". Pekerjaan sehari-hari wak jait selalu mengenakan kain pelekat, berbaju potongan sadariah, berpeci hitam.

Juru hikayat biasanya bercerita sambil duduk bersila, ada yang sambil memengku bantal, ada pula yang sekali-kali memukul gendang kecil yang diletakkan disampingnya, untuk memberikan aksentuasi pada jalan cerita. Sampai jaman Mohammad Zahid yang meninggal dalam usia 63 tahun, pada tahun 1993, cerita-cerita yang biasa dibaawakan antara lain Hasan Husin, Malakarma, Indra sakti, Ahmad Muhamad, sahrul Indra Laila bangsawan. sahibul hikayat digemari oleh masyarakat golongan santri. Dewasa ini biasa digunakan sebagai salah satu media dakwah. Dengan demikian, sahibul hikayat menjadi panjang, karena banyak ditambah bumbu-bumbu. Humor yang diselipkan disana-sini biasanya bersifat improvisatoristis. Kadang-kadang menyinggung-nyinggung suasana masa kini. Setiap celah-celah dalam jalur cerita diselipakan dakwah agama islam. Seperti cerita rakyat lainnya, sahibul hikayat bertema pokok klasik, yaitu kejahatan melawan kebajikan. Sudah barang tentu kebajikan yang menang, sekalipun pada mulanya nampak sengaja dibuat menderita kekalahan.



referensi :DINAS KEBUDAYAAN DAN PERMUSEUMAN PROPINSI DKI JAKARTA, Ikhtisar Kesenian Betawi, 2003

sumber :DINAS PARIWISATA DAN KEBUDAYAAN

sumber: jakarta.go.id

Jipeng

Kata "Jipeng" merupakan akronim dari kata "Tanji" dan kata "Topeng".Dengan kata lain, Jipeng aqalah Topeng dengan iringan orkes Tanjidor.Dengan demikian tata cara pergelarannya pun tidak banyak berbeda dengan tata cara pagelaran Topeng.

Perbedaannya antara lain pada waktu awal pertunjukan. Bilamana Topeng membawakan lagu-Iagu "arangarangan dan enjot-enjotan dan sebagainya diiringi gamelannya, Jipengmembawakan lagu-Iagu yang menurut istilah setempat disebut lagu-Iagu mars dan was (mungkin berasal dari kata Wals) seperti lagu-Iagu "Kramton, Bataliyon, Was Taktak" dan lain sebagainya, diiringi oleh orkes Tanjidor. Untuk mengiringi tarian yang bentuknya tidak begitu berbeda dari tarian pada pertunjukan topeng kadang-kadang orkes tanjidor diganti dengan kromong tiga pencon, gendang, kecrek, kempul, suling, kempul dan gong buyung. Sering pula terjadi digunakannya orkes tanjidor sebagai pengiring tari dalam pertunjukan Jipeng. Pakaian penari Jipeng cukup dengan kebaya, kain panjang disertai selendang panjang di ikatkan pada pinggang, berbeda dengan pakaian penari Topeng seperti digambarkan di bagian terdahulu. Cerita-cerita yang biasa dibawakan dalam Jipeng juga tidak banyak berbeda dengan cerita-cerita yang biasa dibawakan oleh rombongan Topeng. Ada pula yang membawakan cerita-cerita seperti "Sultan Majapahit, "Perabu Siliwangi", "Babat Bogor", "Sinden Siluman", "Rindon Jago Kerawang" dan lain-lain sebagainya.
Untuk menambah pemeran tokoh wanita, sering dilakukan oleh pria berpakaian seperti wanita. Selain untuk lebih menarik perhatian penonton juga demi kepentingan "banjolan". Penyebaran Jipeng terbatas di daerah pinggiran wilayah budaya Betawi, dimana terdapat orkes Tanjidor, seperti di Cilodong, Kampung Setu, Tambun, Ciseeng dan sebagainya.





referensi :DINAS KEBUDAYAAN DAN PERMUSEUMAN PROPINSI DKI JAKARTA, Ikhtisar Kesenian Betawi, 2003

sumber :DINAS PARIWISATA DAN KEBUDAYAAN

sumber: jakarta.go.id

Jinong

Teater Betawi bergaya Lenong dengan orkes tanjidor sebagai musik penggiringnya dinamai jinong. Kecuali alat musik penggiringnya itu, pada umumnya jinong sama bentuknya dengan lenong preman atau wayang si ronda.

Biasanya siang hari, menjelang malam pertunjukan jinong, sejak jam 9 pagi sampai waktu menjelang Maghrib, ditempat orang hajatan yang bersangkutan diperdengarkan lagu-Iagu tanjidor, baik instrumentalia maupun disertai vokal. Upacara ritual, seperti pembakaran dupa, penyediaan sesajen serba tujuh rupa, berlaku seperti pada penyelenggaraan lenong. Tahap-tahap pertunjukan jinong adalah sebagai berikut : Pertama, penyajian musik instrumentalia dengan lagu-Iagu "Mares" dan lagu-Iagu "Was", lagu-Iagu Sunda gunung seperti "Bangket", "Kang Aji", "Oncom Lele" dan sebagainya, diteruskan dengan lagu-Iagu gaya gambang kromong atau dewasa ini sering pula dibawakan lagulagu dangdut. Ini merupakan pertanda pertunjukan akan dimulai, seolaholah mempersilahkan penonton untuk mendekati tempat pertunjukan. Kemudian dipertunjukan tarian, yang menurut istilah setempat disebut "Tari Jinong", diiringi lagu-Iagu seperti yang sesuai dibawakan orkes gambang kromong, antara lain lagu-Iagu "Persi", "Jali-jali", "Gelatik Nguknguk" dan sebagainya. Gerak tarinya sederhana sekali, seperti umumnya gerak tari cokek, dengan rentangan tangan lebih rendah dari bahu. Cerita-cerita yang dibawakan umumnya sama dengan cerita-cerita yang biasa dibawakan Ienang preman atau wayang si ronda, yaitu ceritacerita jagoan, seperti "Si Jampang", "Si Angkri Jago Pasar Ikan" dan sebagainya. Tokoh-tokoh Jinong dewasa ini yang tercatat antara lain Orok di Pondok Rajeg, Warta di Cijantung, Liang di Parung. Semasa masih hidup, Nyaat di Cijantung juga sering mendapat panggilan untuk menyelenggarak pertunjukkan Jinong.



referensi :DNAS KEBUDAYAAN DAN PERMUSEUMAN PROPINSI DKI JAKARTA, Ikhtisar Kesenian Betawi, 2003

sumber :DINAS PARIWISATA DAN KEBUDAYAAN

sumber: jakarta.go.id

Lenong Preman

Berlainan dengan Lenong Dines yang biasa membawakan cerita-cerita kerajaan dan sebagainya, cerita-cerita kerajaan dan sebagainya, cerita-cerita yang disajikan dalam lenong preman berkisar disekitar kehidupan nyata sehari-hari.

yang dibawakan Lenong preman berkisar disekitar kehidupan nyata sehari-hari, yang dibawakan Lenong Preman yang mengisahkan jagoan-jagoan, tuan tanah, drama rumah tangga dan lain-lain sebagainya. Seperti pertunjukan lenong jenis lain, Lenong Preman dipergelarkan dengan menggunakan panggung yang tingginya kurang lebih 1 meter. Sudah barang tentu dengan jalan cerita, ada yang melukiskan panorama sebuah kota, ada yang menggambarkan rumah orang kaya, ada pula lukisan rumah penduduk yang sederhana taman, hutan dan sebagainya. Bahasa yang dipergunakan adalah dialek Betawi, sehingga sangat komunikatif dan akrab dengan penontonnya. Bagi yang memiliki keterampilan bersifat lidah mudah digunakan untuk melontarkan ungkapan-ungkapan humoristis. Sesuai dengan cerita yang dibawakan, pakaian pentasnya pun biasa digunakan pakaian sehari-hari sesuai dengan jaman menurut cerita. Jagoan-jagoan digambarkan dengan pakaian berbentuk celana dan baju potongan "koko" dan "pangsi", kaos oblong, ikat kepala yang menurut istilah setempat disebut "setangan". Lenong preman tersebar diberbagai daerah di wilayah budaya Betawi, seperti dibeberapa tempat di wilayah DKI Jakarta, dibeberapa tempat di wilayah Kabupaten Bogor, Kabupaten Bekasi dan Kabupaten tangerang. beberapa rombongan lenong preman antara lain lenong preman, "Gaya baru", di Gunung Sindur, milik Liem Kim Song, "Setia kawan" di teluk Gong milik Nio Hok san, "Tiga Saudara" di Mauk, Tangerang, milik Pak Ayon, "Sinar Subur" di Bojongsari, milik Asmin."





referensi :DINAS KEBUDAYAAN DAN PERMUSEUMAN PROPINSI DKI JAKARTA, Ikhtisar Kesenian Betawi, 2003

sumber :DINAS PARIWISATA DAN KEBUDAYAAN

sumber: jakarta.go.id

Lenong De Nes

Lenong yang menyajikan cerita-cerita kerajaan seperti, indra Bangsawan, Danur Wulan dan sebagainya, menurut istilah setempat disebut Lenong Denes.

Mungkin sebutan itu disebabkan karena yang dikasihkan adalah orang-orang atau tokoh-tokoh yang berkedudukan tinggi, orang-orang "dines", berlainan dengan orang kebanyakan, "orang preman". Sesuai dengan jalan cerita yang mengisahkan lingkungan bangsawan, maka pakaian dan perlengkapannya pun sudah barang tentu di sesuaikan dengan kebutuhan itu. Lain dari pada itu, bahasa yang digunakan dalam pentaspun, bukan bahasa Betawi sehari-hari, melainkan bahasa "Melayu Tinggi", dengan kata-kata ; "hamba", "kakanda", "adinda", "beliau", "daulat tuanku", "syahdan", berdatang sembah dan sebagainya. Bahasa demikian dewasa ini sudah sedikit sekali yang dapat menghayati, termasuk para seniman lenong sendiri. Oleh karenanya penggunaanya tampak kaku, sulit untuk dapat melahirkan humor spontan. Oleh karena itu pula makin menyusut peminatnya.

Beberapa rombongan Lenong Dines dewasa ini antara lain ; Lenong Dines pimpinan rais di cakung, pimpinan Samad Modo di Pekayon, pimpinan Tohir di Ceger dan pimpinan Mis bulet di Babelan. Mungkin karena golongan keturunan Cina yang secara ekonomis umumnya lebih kuat, lebih tajam penglihatannya terhadap segi-segi komersial, kini tidak ada Lenong Dines yang dimiliki oleh golongan ini. Lenong Dines biasa bermain diatas panggung, berukuran lebih 5 x 7 meter.Tempat seluas itu dibagi dua, sebagian untuk tempat pemain berhias, ganti pakaian, duduk-duduk menunggu saat untuk tampil. Sebagian lagi digunakan sebagai pentas. Alat musik ditata panggung, sebelah kanan dan sebelah kiri pentas. Penggunaan dekor adalah untuk menyatakan susunan dalam adegan-adegan. Tetapi pada kenyataannya, penggunaannya sering tidak tepat, karena terbtasnya persediannya dekor atau kadang-kadang karena kurang cermatnya pengatur dekor itu sendiri dalam menyesuaikan situasi, ruang dan waktu. Misalnya menurut cerita sang puteri sedang bercengkrama di tmansari, disertai dayang-dayangnya, ternyata dekornya menggambarkan kota metropolitan dan gedung-gedung tinggi, mobil sedan berseliweran dijalan. Pakaian pentas sudah barang sedapat mungkin disesuaikan dengan lakon. Membawa cerita "Pho Sio Litan", yang menceritakan suka derita seorang putera raja Cina, wanitanya memakai celana longgar yang ujung bawahnya diikatkan, baju kurung bersulam, rambutnya disanggul diatas tengkuk dan sebagainya. Pria berbaju "koko" berwarna menyala,cekana longgar dari "sutera" dan sebagainya. Perkelahian dalam pentas digambarkan dengan gerak silat yang tampak seperti perkelahian dalam pentas digambarkan dengan gerak silat yang tampak seperti perkelahian sungguh-sungguh, ada juga menggunakan pedang, bermain anggar, disertai gerak-gerak akrobatik yang mengesankan. Sebelum pertunjukan dimulai, biasa diselenggarakam upacara "ukup" dengan disediakan sesajen serta pembakaran kemenyan atau "hioh".



referensi :DINAS KEBUDAYAAN DAN PERMUSEUMAN PROPINSI DKI JAKARTA, Ikhtisar Kesenian Betawi, 2003

sumber :DINAS PARIWISATA DAN KEBUDAYAAN

sumber: jakarta.go.id

Samrah (Sambrah)

Samrah merupakan kesenian yang komplit. Didalamnya tergabung jenisjenis kesenian : Musik, pantun, tari dan lakon.

Istilah samrah mungkin berasal dari bahasa Arab "Samarokh" yang berarti "kumpul". Penamaan ini sesuai dengan kenyataan pada waktu yang lampau samrah ditampilkan pada saat-saat orang berkumpul setelah aeara "Maulid" dan "malam Angkat" dalam rangkaian upaeara pernikahan menurut tradisi Betawi, tanpa disediakan panggung cukup disediakan tempat tertentu saja. Pertunjukan musik dan tari Samrah /azim di/anjutkan dengan membawa eerita. Kalau pertunjukan musik dan tarinya diselenggarakan tanpa panggung, teaternya pun dengan sendirinya tanpa panggung, yakni dengan pentas berbentuk arena, sesuai dengan keadaan tempat. Komando sebagai tanda dimulainya pertunjukan, biasanya diueapkan oleh tuan rumah yang mempunyai hajat : "Ayo dong meja-kursi digeserin, piring mangkok dibenahin, Nyok deh kite nyerbu" maka diatas tikar yang terbentang, disitulah pertunjukan dilakukan. Tampak bahwa Samrah
tampil dalam pesta perkawinan, bukan pada upaeara lainnya. Mereka main karena diundang, tanpa dibayar, pemain dan hadirin hanya bertujuan menari hiburan belaka. Tidak mengherankan bilamana kostum para pemain Samrah yang asH berupa jas, kain plakat dan peei, suatu seragam yang biasa dipakai oleh kaum pria Betawi menghadiri upaeara pernikahan. Teater Samrah pada umumnya tidak menggunakan dekor, kadang-kadang ada yang melengkapinya dengan sebuah meja dan dua buah kursi. Cerita yang biasa dibawakan teater Samrah adalah dengan bahasa Melayu tinggi dengan banyak menggunakan kata-kata Melayu Riau seperti eneik, abang, tuan, gerangan, hamba dan fain-lain, walaupun diueapkan dalam, lafal melayu Betawi. Tonil Samrah ini sesudah perang dunia kedua popularitasnya dikalangan remaja makin berkurang. Peremajaannya mandeg. Hal ini mungkin karena lagu-agunya yang berbau "kuno" dengan iramanya yang lamban, atau karena musiknya sulit dimainkan, rata-rata bernada minor; atau karena tariannya yang berdasarkan gerakan silat seni bela diri yang masih belum meluas atau juga karena pantunnya yang jarang orang menghafalkannya luar kepala. Tokoh-tokoh samrah yang aktif dewasa ini antara lain Harun Rasyid, M. Zein, Arifin, Ali Sabeni dan lain-lain, yang rata-rata berusia lima puluh tahun keatas. Seperti halnya Dermuluk penyebaran Samrah terbatas di daerah tengah kota. Sampai sebelum perang dunia kedua, Tonil Samrah dimainkan melulu oleh kaum pria saja, baik penarinya maupun peran wanitanya. Mungkin hal ini adalah karena masyarakat Betawi termasuk kelompok yang ketat menganut agama Islam, sehingga haram bagi wanita untuk menjadi anak panggung. Pergelaran toni! samrah pada masa lalu terdiri dari beberapa bagian : ada pembukaan berupa tarian, ada nyanyian, ada lawakan dan lakon. Dalam membawakan eerita, eiri khas Samrah terlihat dari penyampaian maksud yang berbentuk pantun yang dinyanyikan. Sama seperti "pakem" opera, karena pada dasarnya toni! samrah juga berasal dari teater rakyat Melayu Riau yakni Teater Dermuluk, tetapi dalam perkembangannya berubah bentuknya setelah muneul di Betawi menjadi Melayu Betawi. Karena berbau opera itulah, para pemain Samrah harus paham dan pandai berpantun dan bernyanyi.

referensi :DINAS KEBUDAYAAN DAN PERMUSEUMAN PROPINSI DKI JAKARTA, Ikhtisar Kesenian Betawi, 2003

sumber :DINAS PARIWISATA DAN KEBUDAYAAN

sumber: jakarta.go.id

Seperti telah disinggung di bagian terdahulu, Samrah merupakan salah satu saham suku Melayu pada budaya Betawi, baik musik, kostum dan tarinya, bahkan juga teaternya. Gerak tarinya banyak menunjukan persamaan dengan umumnya tari Melayu yang mengutamakan langkah-langkah kaki dan lenggang berirama. Berbeda dengan tarian Japin yang tampak menggunakan unsur-unsur jurus pencak silat, seperti pukulan, tendangan dan tangkisan yang distilir. Tari Samrah biasa dilakukan berpasangan atau perorangan.

Perbedaannya dengan tarian Betawi yang lain seperti tari Japin, Blenggo, Cokek dan Topeng terletak pada gerakan jongkok yang didalam Samrah disebut "salawi" yakni gerakan jongkok hampir seperti duduk bersila. Gerakan salawi ini lebih dari sekedar membungkuk, sehingga membutuhkan keterampilan tersendiri sebagai hasil latihan yang ulet. Kesamaan tari Samrah dengan tarian Betawi lainnya terlihat pada posisi tubuh agak membungkuk, salah satu ciri tari Betawi pada umumnya. Kesamaan lainnya adalah tari Samrah dapat juga dipakai sebagai "tari pergaulan". Biasanya penari Samrah turun menari berpasang-pasangan dan berjoget di iringi nyanyian seorang biduan, nyanyiannya berupa pantun dengan tema lagunya, umumnya tentang cinta keagamaan dan cinta wanita ( dengan ungkapan kata-kata merendahkan diri sebagai orang tak punya, yang buruk rupa namun bertekad mencintai wanita yang cantik.

Melihat iramanya, tari Samrah terdapat dua macam :

a. Yang berirama lembut : Tari Sawo Matang, tari Musalma, tari Mamira

dan lain-lain sesuai dengan irama lagu yang mengiringinya.

b. Yang berirama cepat : Tari bayang-bayang, tari jali-jali, Tari Cendrawasih

dan lain-lain.

Tokoh-tokoh Samrah berjasa mempertahankan kelangsungan hidup kesenian ini antara lain Harun Rasyid, Jajang S, Ali Sabeni dan lain-lain dengan Firman Muntaco secara pribadi seorang sastrawan / budayawan Betawi.

Referensi : Dinas Kebudayaan Dan Permuseuman Propinsi DKI Jakarta, Ikhtisar Kesenian Betawi, 2003

Sumber : Dinas Pariwisata Dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta.

sumber: jakarta.go.id

Marawis

Dua remaja berpakaian koko asyik menari dengan iringan musik yang khas. Tubuhnya tampak dihentak-hentakan mengikuti irama. Posisi kakinya jinjit. Sesekali kedua remaja itu mengangkat tangannya. Saat musik semakin ditabuh cepat dan makin menghentak, tarian pun dilakukan dengan penuh semangat.Tak banyak orang yang mengenal seni musik ini. Anda juga mungkin masih asing dengan seni yang dimainkan para remaja berbaju koko tersebut. Ternyata, seni musik yang mereka mainkan adalah dari tradisi Islam yang bernama marawis.

Seni Islami ini dibawa ke Indonesia oleh para pedagang dan ulama yang berasal dari Yaman beberapa abad yang lalu. Mengapa dinamakan marawis? Menurut Hasan Shahab, pegiat seni marawis Betawi, musik dan tarian ini disebut marawis karena menggunakan alat musik khas yang disebut marawis. ''Karena kesenian ini memakai alat musik yang namanya marawis, dari dulu orang menyebutnya sebagai marawis,'' ujar pemilik kelompok musik gambus Arrominia ini menjelaskan. Marawis adalah alat musik mirip kendang. Diameternya sekitar 20 Cm dan tinggi 19 Cm.

Selain menggunakan marawis, alat musik tetabuhan lainnya yang digunakan adalah hajir atau gendang besar. Hajir ini memiliki diameter sekitar 45 Cm dan tinggi 60-70 Cm.Kesenian ini juga menggunakan dumbuk, sejenis gendang yang berbentuk seperti dandang, tamborin dan ditambah lagi dua potong kayu bulat berdiameter 10 Cm.

Menurut Hasan, hampir di setiap daerah yang terletak di Semenanjung Melayu, memiliki kesenian marawis. ''Malah, ada yang menyebut seni ini marwas. Kesenian ini telah ada sejak lama di Indonesia,'' paparnya.Dulu, saat Wali Songo menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa, alat musik marawis digunakan sebagai alat bantu syiar agama. ''Marawis tak bisa lepas dari nilai-nilai religius. Awalnya musik ini dimainkan saat merayakan hari-hari besar keislaman, terutama Maulid Nabi,'' katanya.

Namun, kata Hasan, kini marawis tidak hanya dimainkan saat Maulid Nabi saja. Kini, acara hajatan pernikahan, peresmian gedung, hingga di pusat perbelanjaan, marawis sering dimainkan. Marawis yang ada di setiap daerah memiliki kekhasan tersendiri. Perbedaan marawis itu terletak pada cara memukul dan tari-tarian. Hasan mencontohkan, seni marawis di Aceh, tari-tariannya melibatkan laki-laki dan wanita. ''Kalau marawis khas Betawi yang menari dan memainkan marawis hanya pria. Tariannya pun khas memakai gerakan-gerakan silat,'' katanya.

Berdasarkan penelitian yang dilakukannya, seni marawis juga ditemukan di Palembang, Banten, Jawa Timur, Kalimantan, bahkan hingga Gorontalo. ''Semuanya berbeda dan memiliki kekhasan tersendiri sesuai adat dan budaya daerah setempat,'' paparnya. Diakuinya, kelompok marawis yang paling terkenal berasal dari Bondowoso, Jawa Timur. Seni marawis di Jawa Timur lebih dulu berkembang dibanding di Betawi. Biasanya, setahun sekali grup marawis dari Bondowoso main di Kwitang, Jakarta Pusat, untuk memeriahkan Maulid Nabi SAW. ''Semua orang berbondong-bondong melihat mereka tampil,'' katanya.

Sembilan tahun silam, seni marawis belum populer seperti saat ini. Di tanah Betawi, seni marawis awalnya hanya dimainkan oleh orang-orang keturunan Arab. Bahkan, ada semacam anggapan bahwa marawis hanya dimainkan mereka yang masih keturunan Nabi SAW. Marawis dimainkan orang-orang keturunan Arab untuk memeriahkan acara Maulid Nabi SAW. Selain itu, juga berkembang untuk meramaikan arak-arakan pengantin. ''Itu pun khusus di kalangan orang-orang keturunan Arab,'' paparnya.

Pusat kesenian marawis itu berada di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Di kecamatan ini, terdapat sebuah daerah bernama Kampung Arab. Dari sinilah awal mula marawis berkembang pesat di wilayah DKI Jakarta. ''Di Kampung Arab itu, dari mulai kakek, cucu, anak semua main marawis,'' katanya. Diakui Hasan, sejak stasiun RCTI dan TVRI gencar menayangkan acara gambus beberapa tahun lalu, telah mendorong kesenian marawis ini berkembang lebih pesat. ''Dalam dua tahun inilah marawis berkembang pesat.''

Saat ini, hampir semua majelis taklim di Jakarta memiliki kesenian marawis. Mereka belajar seni marawis di Kampung Arab di Pasar Minggu. ''Tahun lalu saja sudah ada hampir 170 grup marawis. Sekarang mungkin lebih dari 200 grup,'' papar Hasan yang telah 15 tahun ini mengelola seni marawis.Satu grup marawis terdiri dari 10 orang. Setiap orang menabuh alat musik. Ada yang menabuh marawis, menabuh hajir, tamborin dan dumbuk. Seni marawis ini ternyata tidak selalu diisi dengan tarian. Menurut Hasan, tari-tarian dilakukan jika ada acara-acara khusus. ''Misalnya, kalau ada panggung baru,'' ucapnya.

Dalam seni marawis terdapat tiga nada yang berbeda, antara lain, zafin, sarah dan zaife. Zafin merupakan nada yang sering digunakan untuk lagu-lagu pujian kepada Nabi Muhammad SAW. Tempo nada yang satu ini lebih lambat dan tidak terlalu menghentak.Kini, zafin tak hanya digunakan untuk mengiringi lagu-lagu pujian, tapi juga digunakan untuk mendendangkan lagu-lagu Melayu. Sedangkan, nada sarah dan zaife digunakan untuk irama yang menghentak dan membangkitkan semangat. ''Dengan ditambah budaya daerah, tarian marawis menjadi lebih indah,'' tuturnya.

Mengapa hampir semua pemain marawis Betawi berasal dari kaum Adam? Menurut Hasan, sangat kasihan kalau wanita harus main marawis. ''Risikonya tangan akan kapalan, kulit ari tangan bakal mengeras,'' katanya. Diakuinya, sangat tidak umum kaum hawa bermain marawis di Betawi. Bulan Ramahdan menjadi saat panen bagi kelompok marawis. Undangan pun berdatangan. ''Sebulan ini, grup kami mendapat 200 undangan dari wilayah Jabotabek saja,'' papar Hasan. Hampir setiap mal saat ini menampilkan grup marawis untuk menyemarakkan bulan suci Ramadhan.

Sebuah grup marawis bisa dikatakan bermain cukup bagus apabila memenuhi beberapa indikator. Menurut Hasan, dalam sebuah festival atau perlombaan marawis, yang harus dilakukan sebuah grup marawis adalah menghindari sekecil mungkin kesalahan. Kesalahan itu terjadi apabila ada pukulan marawis yang terlambat atau tidak harmonis. ''Di lomba-lomba yang dihitung adalah jumlah kesalahan yang dilakukan,'' paparnya. Selain itu, pukulan alat musik harus dilakukan sekreatif mungkin. Pukulan marawis tidak boleh dilakukan secara monoton. Dari segi kostum, tak ada penilaian khusus. Kelompok marawis bisa menggunakan baju koko, gamis ataupun baju daerah.

Ternyata, marawis tidak bisa dimainkan dalam waktu yang cukup lama seperti musik dangdut. Menurut Hasan, apabila marawis dimainkan dalam sebuah hajatan selama lebih dari 30 menit, maka para penonton akan menjadi jenuh. Memang awalnya, penonton akan merasa senang menikmati marawis. ''Karena seni ini bersifat monoton, jadi marawis hanya bisa dimainkan paling lama 20 menit,'' tuturnya.

Agar penonton tidak bosan, upaya pun dilakukan. Maka ditambahlah alat musik gambus atau organ. Biasanya, grup marawis akan berkembang menjadi grup gambus. Berbagai kreasi pun ditambahkan pada musik marawis ini. Agar penonton tak bosan, Hasan mulai memasukan unta menari dalam tiap penampilan grupnya. ''Orang Cina saja punya barongsai, maka saya coba tambah pakai unta. Penonton sangat antusias melihat marawis memakai unta-untaan,'' katanya.

Saat ini, marawis memang masih menghadapi tantangan. Karena, baru bisa diterima masyarakat dari kalangan menengah ke bawah. Hal itu, sambung Hasan, akibat sumber daya manusia (SDM) pemain marawis yang memang masih rendah. Ia mencontohkan, nasyid bisa diterima hingga kalangan atas. Itu karena para pemainnya berasal dari komunitas kampus. Meski begitu, marawis tidak kehilangan penggemar. Saat ini, permintaan dan undangan untuk tampil terus mengalir deras. Para pegiat marawis pun berharap agar televisi kembali mau menayangkan marawis seperti dulu. Marawis sebagai sebuah seni Islami tentu harus terus dikembangkan, agar tak punah dimakan zaman.

Alkamal, Mawaris dari Condet

Sekitar 1997 lalu, anggota pengajian majelis taklim Miftahul Khairat yang berlokasi di Jl Olahraga I, RT 08/05 Kampung Kramat, Condet, Jakarta Timur berembuk. Para remaja yang tergabung dalam pengajian itu tertarik untuk belajar seni religius marawis. Mereka tertarik setelah menonton tayangan marawis di layar televisi.''Kami kemudian bersilaturahmi ke Kampung Arab di Pasar Minggu dan minta diajari marawis,'' ujar pembina Grup Marawis Alkamal, Mohammad Napis, kepada Republika. Setelah itu, para remaja mengundang pengajar dari Kampung Arab untuk mengajarkan seni marawis tersebut.

Sebulan kemudian, anggota majelis pengajian Miftahul Khairat pun membentuk grup marawis yang bernama Alkamal. Awalnya, grup marawis ini hanya mengisi acara keagamaan dan hajatan warga yang tinggal di Kampung Kramat. ''Namun, setelah satu tahun berdiri, banyak undangan yang datang kepada kelompok marawis ini,'' tuturnya. Kini, kelompok marawis Alkamal telah turun-temurun hingga tiga generasi. Kelompok marawis ini, kini diisi remaja yang masih sekolah di SMU. Menurut Napis, antusiasme generasi muda di kampungnya sangat tinggi untuk belajar dan bermain marawis.

Bulan Ramadhan adalan saat panen bagi kelompok marawis. ''Kita sudah dapat 27 undangan. Malah besok (Jumat, 29/10) kita ada tiga undangan dalam sehari,'' tuturnya.Saat ditanya berapa tarif yang dipatok kelompok marawis Alkamal? Napis hanya menjawab, cukup untuk uang jajan anggotanya. ''Pokoknya, dalam seminggu kita biasa dapat undangan dua kali tampil,'' paparnya.

Kelompok marawis yang dibinanya telah tampil di berbagai mal, hotel dan tempat lainnya. Malah, dengan bangga Napis juga mengaku pernah bermain di Jakata Convention Center (JCC) sambil memperlihatkan foto kelompoknya yang tengah berpose dengan Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso.Perkembangan grup marawis yang begitu pesat, membuat kelompok seni ini sangat mudah membeli alat musik seperti marawis dan hajir. Padahal, dulu untuk mendapatkan alat musik seperti itu, mereka harus membelinya di Kampung Arab, Pasar Minggu.

Di Kampung Kramat Condet, ada kebiasaan unik setiap merayakan Idul Fitri. Menurutnya, kelompok marawis biasanya keliling kampung mengunjungi rumah warga dan kemudian memainkan musik khasnya. Biasanya, setiap rumah memberi makanan dan minuman untuk para pemain. Usai memohon maaf dengan pemilik rumah, para pemuda pun kemudian memainkan marawisnya. Tradisi ini tampaknya menjadi ciri khas warga Betawi yang perlu dilestarikan.

sumber: softoh-jamaah.blogspot.com

Tanjidor

OrkesTanjidor sudah tumbuh sejak abad ke 19, berkembang di daerah pinggiran. Menurut beberapa keterangan, orkes itu berasal dari orkes yang semula dibina dalarn lingkungan tuan-tuan tanah, seperti tuan tanah Citeureup, dekat Cibinong.

Pada umumnya alat-alat musik pada orkes Tanjidor terdiri dari alat musik tiup seperti piston (cornet a piston), trombon, tenor, klarinet, bas, dilengkapi dengan alat musik pukul membran yang biasa disebut tambur atau genderang. Dengan peralatan tersebut cukup untuk mengiringi pawai atau mengarak pengantin.

Untuk pergelaran terutama yang ditempat dan tidak bergerak alat-alatnya sering kali ditambah dengan alat gesek seperti tehyan, dan beberapa membranfon seperti rebana, bedug dan gendang, ditambah pula dengan beberapa alat perkusi seperti kecrek, kempul dan gong.

Lagu-lagu yang biasa dibawakan orkes tanjidor, menurut istilah setempat adalah “Batalion”, “Kramton” “Bananas”, “Delsi”, “Was Tak-tak”, “Cakranegara”, dan “Welmes”. Pada perkembangan kemudian lebih banyak membawakan lagu-lagu rakyat Betawi seperti Surilang “Jali-jali dan sebagainya, serta lagu-lagu yang menurut istilah setempat dikenal dengan lagu-lagu Sunda gunung, seperti “Kangaji”, “Oncomlele” dan sebagainya.

Grup-grup Tanjidor yang berada di wilayah DKI Jakarta antara lain dari Cijantung pimpinan Nyaat, Kalisari pimpinan Nawin, Pondokranggon pimpinan Maun, Ceger pimpinan Gejen.

Daerah penyebaran Tanjidor, kecuali di daerah pinggiran kota Jakarta, adalah di sekitar Depok, Cibinong, Citeureup, Cileungsi, Jonggol, Parung dalam wilayah Kabupaten Bogor, di beberapa tempat di wilayah Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Tangerang.

Sebagai kesenian rakyat, pendukung orkes Tanjidor terutama para petani di daerah pinggiran. Pada umumnya seniman Tanjidor tidak dapat rnengandalkan nafkahnya dari hasil yang diperoleh dari bidang seninya. Kebanyakan dari mereka hidup dari bercocok tanam, atau berdagang kecil-kecilan.

Oleh masyarakat pendukungnya Tanjidor biasa digunakan untuk memeriahkan hajatan seperti pernikahan, khitanan dan sebagainya, atau pesta-pesta umum seperti untuk merayakan ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan. Sampai tahun lima puluhan rombongan-rombongan Tanjidor biasa mengadakan pertunjukan keliling, istilahnya “Ngamen”. Pertunjukan keliling demikian itu terutama dilakukan pada waktu pesta Tahun Baru, baik Masehi maupun Imlek.

Perlu dikemukakan, bahwa sesuai dengan perkembangan jaman dan selera masyarakat pendukungnya, Tanjidor dengan biasa pula membawakan lagu-lagu dangdut. Ada pula yang secara khusus membawakan lagu-lagu Sunda Pop yang dikenal dengan sebutan “Winingan tanji”.

sumber: budayaindonesia.wordpress.com

Gambang Kromong

Pendahuluan
Gambang kromong dikenal sebagai musik tradisional Betawi. Gambang kromong sering ditanggap dalam suatu pesta perkawinan, untuk mengiringi para tamu yang hendak ngibing cokèk. Pertunjukan Lènong bukannya Lènong kalau tidak diiringi gambang kromong. Singkat kata, gambang kromong selalu ditampilkan dalam berbagai acara budaya Betawi dan sudah menjadi trade mark kota Jakarta.

Sejak dahulu memang kota Batavia telah dihuni oleh penduduk segala bangsa dari berbagai belahan dunia. Tak heran apabila kenyataan ini tercermin dalam musiknya yang juga kosmopolitan. Di antara sekian banyak penduduk yang sudah sejak lama bermukim di kota ini tentu saja yang pantas disebut adalah etnik Tionghoa.

Orang Tionghoa sudah sejak lama bermukim di kota ini. Waktu orang Belanda untuk pertama kalinya menginjakkan kaki mereka di Jayakarta, sudah ada suatu pemukiman Tionghoa di sebelah timur muara Ciliwung. Orang Tionghoa di Jakarta khususnya dan di Jawa umumnya berasal dari propinsi Hokkian (Fujian) di Cina selatan. Mulanya, hingga awal abad ke-20, yang datang hanya kaum laki-lakinya saja, laki-laki Tionghoa totok ini lalu menikahi perempuan setempat dan membentuk keluarga. Hasil perkawinan campur inilah yang kemudian membentuk komunitas Tionghoa peranakan (baba-nona). Kaum baba-nona ini tidak lagi berbahasa Tionghoa, melainkan Melayu, seperti kebanyakan penduduk kota ini. Mereka pun berbudaya campuran Tionghoa dan non Tionghoa (Melayu-Sunda) yang sangat khas Tionghoa peranakan.

Asal-usul
Gambang Kromong tercipta ketika orang-orang Tionghoa peranakan sudah semakin banyak di kota ini. Di waktu senggang mereka memainkan lagu-lagu Tionghoa dari kampung halaman moyang mereka di Cina dengan instrumen gesek Tionghoa su-kong, the-hian, dan kong-a-hian, bangsing (suling), kecrèk, dan ningning, dipadukan dengan gambang. Gambang diambil dari khazanah instrumen Indonesia digunakan menggantikan fungsi iang-khim, yakni semacam kecapi Tionghoa, tetapi dimainkan dengan semacam alat pengetuk yang dibuat dari bambu pipih.

Pada perkembangan selanjutnya, sekitar tahun 1880-an barulah orkestra gambang ditambah dengan kromong, kendang, kempul, goong, kecrèk. Dengan demikian terciptalah gambang kromong.

Dari pusat kota Batavia ketika itu, musik gambang kromong kemudian tersebar ke seluruh penjuru kota, hingga ia tidak hanya dikenal di Jakarta, tetapi juga sampai ke bagian utara Bogor, Tangerang dan Bekasi (Jabotabek) sekarang ini. Kawasan-kawasan tersebut memang merupakan area budaya Betawi.

Nada dan Laras
Seperti halnya musik Tionghoa dan kebanyakan musik Timur lainnya, gambang kromong hanya memakai lima nada (pentatonis) yang semuanya mempunyai nama dalam bahasa Tionghoa: sol (liuh), la (u), do (siang), re (che) dan mi (kong). Tidak ada nada fa dan si seperti dalam musik diatonis, yakni musik Barat utamanya.

Larasnya adalah salèndro yang khas Tionghoa sehingga disebut Salèndro Cina atau ada pula yang menyebutnya Salèndro Mandalungan. Dengan demikian semua instrumen dalam orkestra gambang kromong dilaras sesuai dengan laras musik Tionghoa, mengikuti laras Salèndro Cina tadi.

Untuk memainkan lagu-lagu pobin utamanya, para pemusik (panjak) gambang kromong pada awalnya harus mampu membaca noot-noot yang ditulis dalam aksara Tionghoa tersebut, namun akhirnya banyak panjak yang mahir memainkan lagu-lagu tersebut tanpa melihat noot-nya lagi karena sudah hafal.

Lagu Pobin
Lagu-lagu yang dibawakan oleh orkestra gambang kromong pada awalnya hanya lagu-lagu instrumentalia yang disebut lagu-lagu pobin. Lagu-lagu pobin dapat ditelusuri kepada lagu-lagu tradisional Tionghoa di bagian barat propinsi Hokkian (Fujian) di Cina selatan. Lagu-lagu pobin inilah yang kini merupakan lagu tertua dalam repertoar gambang kromong. Di antara lagu-lagu pobin yang kini masih ada yang mampu memainkannya, meskipun sudah sangat langka, adalah pobin Khong Ji Liok, Peh Pan Thau, Cu Te Pan, Cai Cu Siu, Cai Cu Teng, Seng Kiok, serta beberapa pobin lain yang khusus dimainkan untuk mengiringi berbagai upacara dalam pernikahan dan kematian Tionghoa tradisional.

Lagu Dalem
Setelah lagu-lagu pobin, mulai diciptakan lagu-lagu yang dinyanyikan. Lagu-lagu ini disebut lagu dalem. Lagu-lagu dalem ini dinyanyikan dalam bentuk pantun-pantun dalam bahasa Melayu Betawi. Di antara lagu-lagu dalem yang kini tinggal Masnah dan Ating (sebagian) yang masih mampu menyanyikannya antara lain: Poa Si Li Tan, Peca Piring, Semar Gunem, Mawar Tumpa, Mas Nona, Gula Ganting, Tanjung Burung, Nori Kocok (Burung Nori), dan Centé Manis Berdiri.

Lagu dalem berirama tenang dan jernih. Lagu dalem diciptakan bukan untuk ngibing (Sunda, menari), tetapi untuk mengetahui kualitas vokal seorang penyanyi. Dinyanyikan dalam suatu perhelatan untuk menghibur tamu-tamu yang tengah menikmati hidangan yang disuguhkan.

Wayang Cokèk
Penyanyi lagu-lagu dalem yang pada umumnya perempuan dikenal dengan istilah wayang cokèk. Menurut etimologinya istilah wayang singkatan dari istilah Melayu anak wayang, artinya ‘aktris,’ sedangkan cokèk berasal dari istilah Tionghoa dialek Hokkian chioun-khek yang artinya ‘menyanyi’ (to sing a song). Jadi, wayang cokèk mulanya hanya berprofesi sebagai penyanyi lagu-lagu dalem, bukan penari. Istilah wayang cokèk ini hingga kini masih digunakan di kalangan masyarakat pendukung kesenian gambang kromong di kawasan Teluk Naga, Tangerang, dan sekitarnya. Tidak dikenal istilah penari cokèk, sebab cokèk bukan tarian (nomina), tetapi menyanyi (verba).

Kostum yang dikenakan wayang cokèk aslinya adalah baju kurung yang panjangnya melampaui lutut, dengan bawahan celana panjang, terbuat dari dari bahan satin berwarna-warni ceria: merah, hijau dan lain-lain. Rambut mereka yang dikepang diikat dengan tali merah, lalu dilibatkan di kepala. Baru kemudian (sekitar tahun 1960-an) mereka memakai kebaya dan kain batik. Rambut mereka mulai dipotong pendek dan dikeriting.

Lagu Sayur
Setelah generasi lagu dalem yang kini telah menjadi lagu klasik gambang kromong, generasi selanjutnya adalah lagu-lagu yang disebut lagu sayur. Berbeda dengan lagu dalem, lagu sayur memang diciptakan untuk ngibing. Saat itu wayang cokèk bukan lagi hanya menyanyi menghibur para tamu, namun juga ngibing bersama tamu. Fungsi wayang cokèk telah meluas dari sekadar penyanyi menjadi penyanyi plus penari. Oleh sebab itu lagu sayur terdengar lebih riuh ditingkah oleh hentakan-hentakan kendang.

Kata kerja menari yang dilakukan baik oleh wayang cokèk maupun pasangannya disebut ngibing, dengan sejenis selendang yang disebut cukin (Hok.) atau sodèr (Sunda). Ngibing bersama wayang cokèk disebut ngibing cokèk. Gejala mulai maraknya ngibing ini mengindikasikan semakin kuatnya pengaruh budaya setempat (dalam hal ini Melayu dan Sunda/Jawa) di kalangan etnik Tionghoa peranakan, sebab jogèt dan nayuban bersama ronggèng juga dikenal dalam budaya Melayu dan Sunda/Jawa Lagu-lagu sayur sampai sekarang masih banyak yang mampu memainkannya, terutama di daerah Tangerang. Di antaranya adalah: Kramat Karem (Pantun dan Biasa), Ondé-ondé, Glatik Ngunguk, Surilang, Jali-jali (dalam berbagai versi: Ujung Mèntèng, Kembang Siantan, Pasar Malem, Kacang Buncis, Cengkarèng, dan Jago), Stambul (Satu, Dua, Serè Wangi, Rusak, dan Jalan), Pèrsi (Rusak, Jalan, dan Kocok), Centè Manis, Kodèhèl, Balo-balo, Rènggong Manis, Kakang Haji, Rènggong Buyut, Jeprèt Payung, Lènggang Kangkung, Kicir-kicir, dan Siri Kuning.

Selain itu ada beberapa lagu Sunda yang kerap dinyanyikan dalam pertunjukan gambang kromong: Awi Ngarambat, Gaplèk, Kembang Kacang, Kembang Beureum, Lampu Tèmpèl dan Wawayangan.

Liau Kulon dan Liau Wètan
Menurut beberapa narasumber yang penulis hubungi, dalam perkembangannya sekarang ini dikenal dua liau (‘gaya’) dalam musik gambang kromong: Liau Kulon (Barat) dan Liau Wètan (Timur). Sesuai namanya, Liau Kulon berkembang di Jakarta Barat sampai Tangerang sedangkan Liau Wètan di Jakarta Timur. Pada Liau Kulon masih lebih terasa pengaruh Betawinya, sedangkan Liau Wètan banyak dipengaruhi oleh ragam musik gamelan Sunda Gunung (Topèng) dan Tanjidor.

Perbedaan lain tampak dalam repertoar. Liau Kulon lebih sering memainkan lagu-lagu Jali-jali, Stambul dan Centè Manis. Pada Liau Wètan lagu-lagu seperti Kicir-kicir, Lènggang Kangkung dan Siri Kuning-lah yang sangat populer.

Tari
Sebagai informasi tambahan, di sini perlu penulis ketengahkan beberapa tari yang khas ibing cokèk. Tari-tarian ini sebenarnya masih sangat potensial untuk digali menjadi tari-tarian Betawi yang memang sudah sepantasnya diiringi gambang kromong, ketimbang tari-tarian yang sudah ada. Maksud penulis, beberapa tari Betawi yang sudah ada sekarang ini kelihatannya cenderung diambil, misalnya, dari tari-tarian yang dibawakan oleh ronggèng Topèng Betawi yang sebenarnya tak ada hubungannya dengan gambang kromong.

Lagu-lagu sayur biasanya dibawakan untuk mengiringi orang ngibing. Di antara lagu-lagu yang mempunyai tari (ibing) khusus yang pernah penulis saksikan adalah Balo-balo, Ondé-ondé dan Glatik Ngunguk. Dalam ibing Balo-balo, pada bagian tertentu lagu, wayang cokèk dan pasangannya berdiri saling membelakangi (ngadu pantat). Lagu Ondé-ondé diibingkan dengan saling bergantian turun naik, sedangkan Glatik Ngunguk dengan meloncat-loncat sambil berjongkok.

Maka tak ada salahnya apabila tari-tarian tersebut dijadikan sumber yang sudah selayaknya digali kembali untuk menambah keragaman tari Betawi. Untuk itu beberapa (mantan) wayang cokèk senior yang masih mampu ngibing dengan baik dapat dihubungi, sebelum tari-tarian tersebut punah dari muka bumi untuk selama-lamanya .

sumber: kampungbetawi.com

Keroncong Tugu

“Bastiana, Bastiana
Bastiana minja our (o)
Bastiana lensu
Komigu pinhor

Nang quer fica triste
Ficai consolad
Kom algum dia mais
Lo fica djuntad.”

Kisahnya berawal saat jatuhnya Malaka dari kekuasaan Portugis ke tangan Belanda pada 1648. Orang-orang Portugal yang umumnya tentara keturunan berkulit hitam dari Bengali, Malabar, dan Goa ditawan kemudian dibawa ke Batavia. Sekitar 1661 mereka dibebaskan kemudian dimukimkan di rawa-rawa sekitar Cilincing, sekarang disebut Kampung Tugu. Komunitas yang mempertahankan bahasa dan kebudayaan Portugis ini awalnya menjadi sedemikian ekslusif. Bahkan menempati jabatan-jabatan rendah di pemerintahan yang waktu itu tentu tertutup untuk pribumi.

Pihak Belanda memaksakan agama serta nama-nama keluarga yang baru kepada mereka. Namun musik Portugis dan kesadaran akan darah Portugis tetap hidup. Dari sinilah dendang Keroncong Tugu ditabuh. Selama abad ke-18 dan 19, komunitas Tugu mempunyai pengaruh kultural yang relatif kuat di Jakarta. Merekalah yang mempopulerkan “Kroncong Mourisko” (Mourisco dalam bahasa Portugis berarti “berasal dari orang Moro”) yang ritme dasarnya dijadikan latar belakang sebagian musik modern Indonesia. Seperti halnya keroncong lama “Nina Bobo” yang dinyanyikan banyak orang. Kata “Nina” berasal dari kata Portugis “Menina” yang berarti anak gadis kecil.

Pada masa kemerdekaan komunitas ini terpecah dan sebagian menyebar ke beberapa daerah. Hal ini disebabkan kedekatan mereka dengan pihak Belanda yang tentunya waktu itu sangat dibenci. Satu kelompok (26 keluarga) berangkat ke Belanda dan kelompok lain (19 keluarga) pindah ke Bandung dan Irian Jaya.

Adalah Samuel Quiko, 60 tahun, salah satu bagian keluarga besar fam Quiko yang masih tinggal di Tugu dan memimpin Musik Keroncong Cafrinho Tugu. Sebagai generasi ke-7 Keroncong Tugu usahanya tak kenal lelah untuk terus menghidupkan kesenian ini.

Ada tiga hal yang bertahan dalam tradisi Keroncong Tugu, yaitu alat musik, lagu-lagu (repertoar), dan kostum pemainnya. Alat musiknya masih tetap seperti tiga abad yang lalu, yakni keroncong, biola, okulele dengan lima senar, banyo, gitar, rebana, kempul dan sello. Lagu-lagu yang tidak pernah ditinggalkan adalah lagu-lagu lama, Kaparinyo, Moresco, dan lagu-lagu stambul Betawi. Sedangkan kostumnya, memakai baju koko, topi baret dan syal yang mengantung di leher.

Meskipun tidak setenar diawal abad kemunculannya, Keroncong Tugu kini tetap eksis dan masih dapat dinikmati. Bersama 8 orang anggotanya kelompok Samuel sesekali ditanggap di berbagai tempat di luar kampungnya. Saat ini di dalam komunitas Keroncong Tugu tidaklah melulu berisi keluarga saja, beberapa adalah kerabat jauh yang bahkan tanpa ikatan darah. Mereka ini sama sekali tidak menggantungkan nafkahnya dari pentas keroncong, tetapi mencari nafkah utama dengan berbagai pekerjaan. Undangan pentas keroncong hanya sebagai selingan. Di luar undangan pentas, kelompok ini melakukan latihan setiap Selasa malam.

Bagi masyarakat Kampung Tugu sendiri, keroncong sudah menjadi bagian dari hidup mereka. Orang-orang yang lewat bisa saja numpang mampir menyanyi atau menari ketika kelompok ini sedang melakukan latihan di kampung mereka. Setelah itu, ngeloyor begitu saja melanjutkan aktivitas lainnya. Akhirnya alunannya seperti denyut kehidupan itu sendiri. Sesekali menghiasi malam penuh kenangan.

“Bastiana, Bastiana
Bastiana hartaku
Sapu tangan Bastiana
Ada padaku bagai janji

Janganlah sedih,
Tapi terhiburlah
Sebab dalam beberapa hari
Kita akan dipersatukan.”

sumber: vadin.multiply.com

Berikut adalah sebuah artikel mengenai Keroncong Tugu dan bagaimana mereka dipengaruhi oleh para pelaut Portugis yang mendarat di Batavia. Victor Ganap adalah seorang anggota dari pejabat fakultas di Departemen Musik ISI Yogya. Artikel ini didasarkan atas disertasi doktoral beliau dari Univ Gadjah Mada.

‘Krontjong Toegoe’: Musical legacy of Batavia’s Portuguese sailors
Victor Ganap, Contributor, Yogyakarta

The first European historical encounter in Java is believed to have begun when the Portuguese anchored their boats in 1513 at Sunda Kelapa, on their voyage between Malacca and Maluku in search of spices. The Portuguese arrival was welcomed by the Hindu Pajajaran kingdom through the establishment of the Padrao Treaty.

Malacca had been under the control of Portuguese forces since 1511 until 1641, when the Dutch fleet took over.
The Portuguese’s sojourn in Southeast Asia has determined the existence of creoles mestizo, and mardijkers (literally tax-exempt) people in Batavia — the latter Portuguese mercenaries, mostly of Bengali and Coromandel origins, who were taken to Batavia as slaves. After their conversion to the Dutch Reform Church from Roman Catholicism, they were freed from slavery and called mardijkers.

They lived exclusively in Batavia by maintaining the Portuguese cristao spoken language for nearly two centuries, then became gradually disoriented, which led to the dissolution of their entities in 1815. At the turn of the 19th
century, this group had eventually disappeared, having assimilated into Batavia’s larger urban community.

This article investigates the existence of a Christian Toegoe community today in Tugu village, Cilincing, North Jakarta, which has managed to survive for more than three centuries through their Portuguese Moresco musical heritage.

The Toegoe community is considered to have originated from the mardijkers of Batavia. However, research has found that this community originally descended from a group of Portuguese Goan sailors that escaped from Bandaneira, after Gov. Gen. J.P. Coen imposed ethnic cleansing by the Dutch military on Banda Island during the 1620s.

The Goan sailors made emergency port when their boat was sunk in the bay of Batavia. Under the intervention of Batavia’s Portuguese Church (Portugeesche Binnenkerk), in 1661 the Dutch released and sent the sailors to Tugu village along with their families of Bandaneira origin.

These formed the first generation of the Toegoe community, members of which spoke Portuguese cristao and inherited Moresco, a type of Portuguese dance music of Moorish origins that entered then Lusitania (former name of Portugal) in the 8th century.

Moresco dances were once elite entertainment of the Portuguese court, and its music was popular in Lisboa and Coimbra, known as fado (”song of fate”). Fado is believed to have been disseminated to the East by Portuguese sailors during the 16th century.

Isolated from Batavia urban life, the Toegoe community was urgently in need of an “art by destination”, which they found in Moresco music. Moresco, in turn, led to the birth of krontjong toegoe, or keroncong tugu. Portuguese Moresco elements in keroncong tugu is found in its repertoire, musical expression and the organological craftsmanship of the Toegoe craft community.

Portuguese Moresco repertoire was merely a stylistic musical accompaniment to dances, with a quavering rhythmic pattern and chromatic motive (neighboring or nota cambiata) melodies, sung plainly in a nasal voice that imitates a female falsetto.

Portuguese Moresco song as similar to fado is sung in cora‡ao (”from the heart”) without ornamentation or vibrato. Its percussive and chordal accompaniments are clearly heard, played by rebana (an adaptation of the Portuguese pandeiro, a type of tambourine) and a five-string guitar based on the Portuguese cavaquinho, and which was developed later by Toegoe craftsmen into three sizes: prounga (large), macina (medium) and jitera (small).

Peregrina‡ao, a 16th-century manuscript on the adventures of Portuguese sailors discloses that more than 10,000 cavaquinho had been dispatched from Portugal and arrived in Morocco and Madeira as braguinha (of Braga origin), in Brazil as machete (a dance musical instrument), in the Caribbean as cuatro (four strings), and in Hawaii as ukulele (played by jumping the fingers).

The cavaquinho was then reproduced in Tugu village and named keroncong. The term itself may have come from the onomatopoeic “crong” — the typical sound of a keroncong — or an etymological name drawn from kerincing rebana (sound of jingling), part of a generic percussive ensemble that accompanies Moresco dances.

In later development, keroncong became cuk (first ukulele, or four-string jitera), cak (second ukulele, or three-string prounga) and the five-string macina as an adaptation of the mandolin.

Keroncong Tugu has survived for more than three centuries due to seven factors: its quality as an egalitarian ars nova that did not belong either to Western classical music or to the indigenous gamelan music; regular appearances in Batavia’s Pasar Gambir Festival; generating income by producing musical instruments for a distinctive market in Batavia’s Passer Baroe; communal support by Batavia’s Indies community; a repertoire of Dutch and Malay songs to accommodate urban musical tastes; the Toegoe community’s expertise in producing rice in a collective kinship system; and their primordial commitment in preserving the annual Mandi-mandi Festival to end the New Year week, which is still observed by the Tugu community today.

At the turn of the 19th century, Keroncong Tugu developed into “art by acculturation”, which was imitated by the Indies community in Batavia, and gave rise to other ars nova styles such as Keroncong Kemayoran by the De Krokodilen group in Kemayoran, Keroncong Lief Java by local Javanese musicians, and Langgam Keroncong in the gelijkgesteld style of the American Tin Pan Alley by eastern Indonesian musicians, before keroncong spread to other cities in Java, including Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surakarta and Surabaya.

In 1935, noted keroncong musician Kusbini composed the Krontjong Moresco, an adaptation of the Moresco variant by Manusama, which led to the existing Keroncong Asli. In 1940, another keroncong musician, Gesang, composed Bengawan Solo, a strophic song form which led to the Langgam Keroncong, both of which are now considered Indonesian musical mainstays.

Keroncong Tugu was recorded by UNESCO in 1971, through the Moresco Toegoe ensemble, with their Indies repertoire that included songs such as Schoon ver van jou and Oud Batavia, sung by septuagenarian singers Grandpa Waas and Grandma Christine, accompanied by Jacobus Quiko on violin, Joseph Quiko on first guitar, Frans Abrahams on second guitar, Arends Michiels on cello pizzicato; Samuel Quiko on first ukulele; Marthen Sopaheluwakan on second ukulele; Fernando Quiko on rebana, Elpido Quiko on triangle and Grandpa Waas, who also played the macina.

Since 1989, Keroncong Tugu groups have been invited to perform annually at the Tong Tong Great Night Bazaar Festival in The Haag, the Netherlands.

In 2002, a Keroncong Tugu group participated in the Nusantara Portugal Cultural Festival held in Larantuka, Flores, while this year, a group was invited to perform at the Tempo Portugis Festival held by the Embassy of Portugal in Jakarta.

Apart from these activities, Keroncong Tugu groups also appear on national and foreign television programs, and the genre itself receives the support of the Jakarta government and its urban community.

Just as their ancestors survived through the centuries, the jingling strains of Keroncong Tugu — with its uniqueness, adaptability, assimilative character and historical relevance — can be expected to be heard well into the future.


Sumber: Jakarta Post

sumber: kerontjong.multiply.com

Rebana Maulid

Sesuai namanya rebana ini berfungsi sebagai pengiring pembacaan riwayat nabi Muhammad. Kitab maulid yang biasa dibaca Syarafal Anam karya Syaikh Albarzanji dan kitab Addibai karya Abdurrahman Addibai. Tidak seluruh bacaan diiringi rebana. Hanya bagian tertentu seperti Assalamualaika, Bisyahri, Tanaqqaltu, Wulidalhabibu, Shalla ‘Alaika, Badat Lana, dan Asyrakal. Bagian Asyrakal lebih semangat karena semua hadirin berdiri. Pembacaan maulid nabi dalam masyarakat Betawi sudah menjadi tradisi. Pembacaan maulid tidak terbatas pada bulan mulud (Rabiul Awwal) saja. Setiap acara selalu ada pembacaan maulid. Apakah khiatanan, nujuhbulanin, akekah, pernikahan, dan sebagainya.

Pukulan rebana maulid berbeda dengan pukulan rebana ngarak. Nama-nama pukulan rebana maulid disebut pukulan jati, pincang sat, pincang olir, dan pincang harkat. Dahulu ada seniman rebana maulid yang gaya pukulannya khas. Seniman ini bernama Sa’dan, tinggal di Kebon Manggis, Matraman. Sa’dan memperoleh inspirasi pukulan rebana dari gemuruh air hujan. Gayanya disebut gaya Sa’dan.

sumber: disparbuddki.info

Rebana Ngarak

Sesuai dengan namanya, Rebana Ngarak berfungsi mengarak dalam suatu arak-arakan. Rebana ngarak biasanya mengarak mempelai pengantin laki-laki menuju ke rumah mempelai pengantin perempuan. Syair lagu rebana ngarak biasanya shalawat. Syair shalawat itu diambil dari kitab maulid Syarafal Anam, Addibai, atau Diiwan Hadroh. Karena berfungsi mengarak itulah, rebana ngarak tidak statis di satu tempat saja.

Gaya pukulan rebana ngarak biasanya disesuaikan dengan kesempatan. Misalnya selama perjalanan pengantin laki-laki menuju rumah pengantin perempuan biasanya menggunakan pukulan “salamba”. Setelah berada di rumah pengantin perempuan biasanya digunakan gaya “sadati”. Mungkin berasal dari kata “syahadatain”, dua kalimat syahadat yang akan diucapkan oleh pengantin laki-laki di hadapan penghulu.

Rebana ngarak saat ini berkembang dengan baik. Banyak remaja dan pemuda mempelajarinya. Dalam grup rebana ngarak dipelajari pula berbalas pantun dan silat, seperti dalam upacara ngarak pengantin. Grup rebana ngarak terdapat di berbagai kampung. Misalnya di kampung Paseban, Kwitang, Karang Anyar, Kali Pasir, Kemayoran, Kayu Manis, Lobang Buaya, Condet, Ciganjur, Grogol, Kebayoran Lama, Pejaten, Pasar Minggu, Kalibata, dan lain-lain.

sumber: disparbuddki.info

Gamelan Topeng

Sebagaimana akan terlihat pada bagian lain darr tulisan ini, teater rakyat Betawi biasa diiringi musik dalam pergelarannya. Lenong biasa diiringi orkes Gambang Kromong, Blantek biasa diiringi Rebana Biang.

Berlainan dengan teater rakyat tersebut, topeng Betawi memiliki orkes pengiring yang khas yakni seperangkat gamelan yang terdiri dari beberapa waditra. Karena tidak ada istilah khusus, untuk pengiring pergelaran Topeng Betawi itu, untuk mudahnya disebut saja Gamelan Topeng.

Pada umumnya Gamelan Topeng terdiri dari sebuah rebab, sepasang gendang (sebuah gendang besar dan sebuah kulanter), satu ancak kenong berpencon tiga, sebuah kecrek, sebuah kempul yang digantungkan pada gantungan dan sebuah gong tahang atau biasa disebut gong angkong. perlu dikemukakan, bahwa kenong berpencon tiga itu biasa ditabuh oleh dua orang penabuh. Yang seorang disebut menabuh kenong, kata kerjanya menurut istilah setempat "ngenong", maksudnya, yang dipukul adalah penconnya. Sedang yang seorang lagi disebut menabuh kenceng, maksudnya yang dipukul adalah bagian pinggir daripada kenong, kata keqanya "ngenceng".

Gamelan Topeng rupanya merupakan penyederhanaan dari pada kombinasi gamelan lengkap. Hal itu antara lain disebabkan karena pada waktu-waktu yang lalu topeng merupakan kesenian rakyat yang biasa mengadakan pertunjukan keliling, ngamen dari kampung ke kampung.

Haji Bokir yang dewasa ini cukup dikenal sebagai seniman topeng terkemuka, sampai tahun lima puluhan masih biasa "ngamen", terutama pada waktu perayaan Tahun Baru, baik Masehi maupun lmlek. Berkeliling',ngamen,' itu pada umumnya beryalan kaki, paling banter naik sepeda. Semua peralatan dipikul atau digotong oleh para panjak sendiri. Peralatan diusahakan seminim mungkin supaya mudah dan enteng dibawanya. Gawangan kempul misalnya, yang biasa dibuat dari bambu, dalam perlalanan bedungsi pula sebagai pikulan.

Alat gamelan ini pada pertunjukan Topeng memegang peranan yang cukup penting. Pemukulan kempul pertamakali menandakan pertunjukan akan segera dimulai. Setelah pemukulan kempul itu dilanjutkan dengan gesekan rebab tunggal, yang menurut istiiah setempat biasa disebut "arang-arangan", Panjang pendeknya arang-arangan tergantung dari keadaan dan kesempatan. Kadang-kadang arang-arangan dimaksudkan untuk mengumpulkan panjak yang belum siap ditempat.

Setelah arang-arangan dilanjutkan dengan "talu" atau "tetalu". Tetalu dimaksudkan pula untuk menarik penonton. Oleh karena itu ditabuh ekstra keras. Tegangan gendang pun untuk maksud itu dilebihkan dari tegangan pada tabuhan selanjutnya. Selesai tetalu dilanjutkan dengan pertunjukan pendahuluan, biasa juga disebut pertunjukan pra lakon, yaitu dalam bentuk tari-tarian yang dengan sendirinya diiringi dengan gamelan. pralakon berlangsung melalui "Lipetgandes" pada bodoran yang dilakukan oleh seorang bodor dengan ronggeng topeng. Setelah itu baru menginjak babak pertama dari lakon (Kalau akan dipergelarkan lakon panjang) sebagai pertunjukan inti.

Dalam pergelaran lakon, baik lakon pendek maupun lakon panjang, gamelan berfungsi sebagai tanda pergantian babak, untuk memberikan aksentuasi pada gerakan serta jalan cerita dan sebagainya.

Terdapat dua golongan lagu yang biasa dibawakan dalam pertunjukan Topeng. Golongan pertama biasa disebut lagu-lagu "dalem" seperti "Kang Aji", "Gendol Hejo", "Glenderan" dan sebagainya. Kedua, disebut lagu-lagu luar, yaitu lagu-lagu yang biasa diperdengarkan atas permintaan penonton dengan memberikan imbalan sekedarnya kepada panjak. Lagu-lagunya antara lain "Geseh", "Bongbang" dan sebagainya."

Referensi : Dinas Kebudayaan Dan Permuseuman Propinsi DKI Jakarta, Ikhtisar Kesenian Betawi, 2003

Sumber : Dinas Pariwisata Dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta.

See: jakarta.go.id

Gamelan Ajeng

Gamelan Ajeng merupakan musik folklorik Betawi yang mendapat pengaruh dari musik Sunda. Beberapa daerah di Pasundan terdapat pula gamelan ajeng. Seperti di Kecamatan Kawali, Ciamis, Jawa Barat. Meskipun begitu perkembangan kemudian membedakan gamelan ajeng di Betawi dan gamelan serupa di Pasundan. Gamelan ajeng Gandaria pimpinan Radi Suardi misalnya memainkan lagu-lagu seperti Carabali, Timblang, Gagambangan, Matraman, Banjaran, Jiro, lagu-lagu yang tidak ada di gamelan ajeng di Pasundan. Sementara lagu-lagu yang terdapat dalam gamelan Ajeng Sumedang adalah Papalayon, Engko, Titipati, Bayeman, Papalayon Buyut, dan Bondol Hejo.

Alat musik gamelan ajeng terdiri dari kromong sepuluh pencin, terompet, gendang (dua gendang besar, dua kulanter), dua saron, bende, cemes (semacam cecempres), kecrek. Kadang-kadang ada juga yang menggunakan dua gong: gong laki dan gong perempuan.

Gamelan ajeng biasa digunakan untuk memeriahkan hajatan, seperti khitanan atau perkawinan. Pada mulanya tidak biasa digunakan sebagai pengiring tarian. Tapi pada perkembangannya kemudian digunakan pula sebagai pengiring tarian yang disebut “Belenggo Ajeng”. Belakangan ini, sesuai denga perkembangan zaman dan untuk memuaskan penontonnya, gamelan ajeng juga memainkan lagu-lagu Sunda pop. Bahkan ada pula yang digunakan untuk mengiringi tari Jaipong.

Di samping di Gandaria, gamelan ajeng juga berkembang di pinggiran Jakarta lainnya, seperti di Kelapa Dua Wetan dipimpin oleh Oking alias Peking, di Cireundeu dipimpin oleh Neran, di Pakopen Tambun dipimpin Sarah, dan di Karanggan Pondok Gede dipimpin oleh Saad.

sumber: disparbuddki.info/gamelanajeng.html

Es Selendang Mayang

BAHAN:
Selendang Mayang:
750 ml air
100 g tepung sagu aren
25 g tepung beras
2 lembar daun pandan, simpulkan
1/2 sdt garam
125 g gula pasir
1/2 sdt pewarna makanan warna merah muda

Kuah santan, didihkan sambil aduk-aduk:
750 ml santan dari 1 butir kelapa parut
1/2 sdt garam
1/2 sdt gula pasir
3 lembar daun pandan, sobek-sobek

Air gula, didihkan hingga kental:
300 g gula merah, sisir halus
1/4 sdt garam
300 ml air

Pelengkap:

Es batu

CARA MEMBUAT:
  • Selendang Mayang: Campur 250 ml air bersama tepung sagu aren, dan tepung beras. Sisihkan.
  • Didihkan sisa air, daun pandan, garam, dan gula pasir hingga larut. Angkat, saring.
  • Jerang kembali campuran air dan daun pandan di atas api kecil, masukkan campuran tepung sagu aren, aduk cepat hingga tercampur rata, didihkan. Angkat.
  • Tuang ke dalam loyang ukuran 22,5 x 29,5 x 3 cm, ratakan. Perciki dengan pewarna merah, ratakan dengan kuas hingga seluruh permukaannya berwarna merah. Biarkan dingin dan agak mengeras.
  • Penyajian: Sendoki tipis-tipis selendang mayang, taruh dalam gelas saji, sirami santan dan air gula. Tambahkan es batu, sajikan dingin.
Untuk 6 porsi
Kalori per porsi: 359 kal


[Dari femina 25 / 2007]

Bir Pletok

Bahan
1 1/2 liter air
150 ml gula pasir
1 batang kayu manis
3 batang serai
50 gr jahe, kupas, memarkan
1 jumput kayu angin
1/2 sdt garam

Cara membuat
- Rebus air hingga mendidih, kemudian masukkan kayu manis, serai, jahe dan kayu angin, masak sampai beraroma.
- Masukkan gula pasir dan garam, kecilkan api, rebus kembali 15 menit, angkat.
- Hidangkan panas atau dingin.
- Untuk 2 gelas [Ss]

sumber: www.dunia-ibu.org

Kue Pepe Betawi

Bahan:

600 gram tepung sagu
600 gram gula pasir
1.100 cc santan kental (2 butir kelapa)
garam secukupnya
vanili secukupnya
pewarna merah dan hijau secukupnya

Cara Membuat:

1. Campur tepung sagu bersama gula pasir, dan santan. Aduk rata hingga adonan betul-betul licin.

Kalau perlu, saring adonan. Jangan lupa membubuhi garam dan vanili. Aduk rata

2. Ambil beberapa sendok adonan dan bubuhi pewarna merah. Sisihkan

3. Bagi dua sisa adonan. Beri warna hijau pada salah satu adonan

4. Siapkan cetakan segi empat ukuran 20 cm. Olesi dengan minyak.

Panaskan dalam panci pengukus selama 10 menit.

Tuang adonan putih di dalamnya. Kukus sampai beku. Tambahkan adonan hijau.

Begitu seterusnya selapis demi selapis. Terakhir tuangkan adonan merah.

Jumlah adonan yang dituang harus sama banyaknya agar tiap lapisan sama tebal

5. Bila kue sudah dingin, potong dengan pisau yang telah dibungkus plastik yang telah diolesi minyak.

Bisa juga dipergunakan benang

untuk 30 potong

sumber: cest-ma-maison.net

Kembang Goyang Betawi

Waktu : 30 menit
Untuk : 15-20 kembang goyang

Kembang goyang mungkin aslinya adalah makanan orang Cina Peranakan....atau orang Cina Peranakan yang mengadopsi makanan ini menjadi makanan mereka? TIdak tahu ya...yang jelas di Singapura, orang2 juga kenal dengan kue kembang goyang ini. Masaknya asyik....goyang2....sayangnya saya belum berhasil membuat versi tanpa telurnya.
Tunggulah saya bereksperimen lagi....

Bahan:
95 gr tepung beras
125 ml santan dengan kekentalan sedang
1 telur
20 gr gula pasir halus
garam

Alat : cetakan khusus kembang goyang. Di Singapura ada di jual di toko bahan makanan Phoon Huat.

Cara:
1. Kocok telur dan gula hingga lembut
2. Masukkan tepung, santan, ragam
3. Aduk2 hingga tercampur benar dan adonan licin
4. Panaskan minyak di wajan
5. Celup cetakan kembang goyang ke minyak panas, biarkan sebentar hingga panas
6. Celup cetakan ke adonan, hati2 jangan sampai tertutup atasnya
7. Celup lagi cetakan ke minyak panas, goyang2 hingga adonan lepas
8. Angkat kembang goyang ketika berwarna kecoklatan.

sumber: bukumasaku.blogspot.com

Kerak Telor

Bahan :
100 gr beras ketan putih, dicuci bersih dan direndam dengan air kurang lebih 2 jam
4 butir telur bebek
4 sdm bawang goreng
4 sdm serundeng
4 buah cabai rawit, iris halus
2 sdt garam
1 sdt lada bubuk
1 sdt gula pasir
4 sdm ebi bubuk

Cara membuat :
Panaskan penggorengan kerak telur hingga cukup panas.
Masukkan satu sendok makan sayur ketan yang sudah direndam beserta airnya (sekitar 50 gr), tutup dan masak kurang lebih 2 – 3 menit.
Buka tutupnya, kemudian beri 2 butir telur, 2 sdm bawang goreng, 2 sdm serundeng, 2 sdm ebi, 2 buah cabai rawit, 1 sdt garam, 1/2 sdt lada bubuk dan 1/2 sdt gula pasir, aduk rata.
Ratakan disisi penggorengan kurang lebih berdiameter 20 cm, tutup dan masak kembali hingga harum
Balik penggorengan kerak telur hingga terjilat api dan permukaan atas harum terbakar.
Lalukan cara yang sama untuk bikin kerak telur yang berikutnya. Sajikan.

Untuk 2 porsi.

Sumber: cuek.wordpress.com

Asinan Betawi

Ingredients:
-Timun 1 buah, buang bijinya, iris
-wortel 1/2 buah, rajang juliane
-mangga muda 2 buag, rajang halus
-kol 5 lembar, rajang halus
-toge 50 gr
-kacang tanah goreng (sbg tambahan)

Bahan kuah
-air 500 ml
-2 blok gula jawa
-asem
-cuka 2 sdm
-bawang putih 3 buah, keprek
-cabe 10 buah, haluskan
-garam sedikit

Directions:
1. Rebus semua bahan kuah sampe tinggal 1/2 airnya, cicipi rasanya pokoknya kudu asem, manis dan pedes
2. Campur dengan bahan sayuran dan rendam dengan kuahnya, simpan min dalam kulkas 3 jam.

sumber: cuek.wordpress.com

Soto Tangkar

BAHAN:
3 L air untuk merebus
500 g tangkar (iga sapi muda), bersihkan
300 g daging sandung lamur sapi
2 lembar daun salam
2 batang serai, ambil bagian yang putih, memarkan
3 cm lengkuas, memarkan
3 sdm minyak untuk menumis
3 cm batang kulit kayu manis
2 lembar daun jeruk purut
200 g kikil, rebus, potong ukuran 2 x 2 x 1/2 cm
200 g jeroan sapi (paru, babat, usus), rebus, potong ukuran 2 x 2 x 1/2 cm
250 ml santan kental dari 1 butir kelapa parut
500 g kentang, kupas, potong-potong, goreng
3 buah tomat merah, potong-potong

Bumbu, haluskan:
12 butir bawang merah
8 siung bawang putih
3 buah cabai merah
2 sdt garam
7 butir kemiri, goreng
2 cm kencur
2 cm jahe
1 sdm ketumbar, sangrai
1 sdt jintan, sangrai
1 sdt merica butiran, sangrai

Pelengkap:
100 g emping goreng
7 buah jeruk limau, ambil airnya
4 sdm kecap manis
Sambal cabai rawit merah

Taburan:
2 batang daun bawang, iris halus
2 batang seledri, iris halus
2 sdm bawang merah goreng, siap pakai

CARA MEMBUAT:
  1. Didihkan air, rebus tangkar dan sandung lamur bersama 1 lembar daun salam, 1 batang serai, dan lengkuas hingga empuk. Angkat tangkar dan sandung lamur, sisihkan kaldunya sebanyak 1.250 ml.
  2. Potong-potong tangkar dan sandung lamur ukuran 2 x 2 x 1/2 cm. Sisihkan.
  3. Panaskan minyak, tumis bumbu halus, kayu manis, daun jeruk purut, serai, dan daun salam, hingga harum dan matang. Angkat.
  4. Didihkan kaldu, masukkan bumbu tumis, tambahkan tangkar, sandung lamur, kikil, dan jeroan, aduk rata. Didihkan.
  5. Tuangi santan. Aduk rata, didihkan. Masak hingga semua bahan matang. Angkat.
  6. Siapkan mangkuk saji, letakkan kentang dan tomat, siram dengan kuah soto berikut isinya, bubuhi taburan. Sajikan hangat bersama pelengkap.


Untuk 6 porsi

Sumber: www.femina-online.com

Nasi Uduk Betawi

Bahan:
· 400 gram beras
· 625 cc santan dari ½ butir kelapa
· ½ sdt ketumbar bubuk
· ½ batang serai, dimemarkan
· 1 lembar daun salam
· 1 lembar daun pandan
· garam secukupnya

Bahan Pelengkap:
· Ikan teri goreng
· Kacang goreng
· Telur dadar, diiris tipis
· Mentimun, diiris tipis
· Daun kemangi
· Bawang goreng

Cara membuat:
· Kukus beras sampai setengah matang, angkat dan sisihkan.
· Sementara itu rebus santan, ketumbar, serai, daun salam, pandan dan garam di dalam panci sampai mendidih. Kemudian masukkan beras yang sudah dikukus. Aduk-aduk di atas api kecil sehingga seluruh cairan terhisap oleh beras. Setelah itu kukus lagi sampai matang. Angkat.
· Cara menghidangkan: Taruh nasi dalam piring, taburkan bahan pelengkap di atasnya. Dimakan dengan sambal kimiri.

Untuk 6 orang .

Sambal Kimiri:
Gerus dan campur jadi satu sampai halus:
· 25 gram kacang goreng
· 5 butir kemiri goreng
· 5 cabe rawit, diseduh air panas
· 2 cabe merah, diseduh air panas
· ½ sdt garam
· 1 sdt cuka
· 2 sdt gula pasir
· 50 cc air panas

sumber::: http://resepmasakanindonesia.idcc.info/resep-nasi-ulam-betawi.htm

Nasi Ulam

Merupakan makanan khas tradisional betawi. Ini dia.

Nasi Ulam

Sumber : Tabloid Nova No. 999 Thn. XVIII 15 April 2007

Bahan:

500 gr nasi putih

200 gr kelapa setengah tua, parut panjang

4 sdm minyak goreng

3 siung bawang putih

3 bh bawang merah, iris halus

2 cm kunyit, parut

3 btg serai, ambil bagian putihnya, iris halus

1 sdt terasi

1 sdt jintan bubuk

1 sdt garam

1 sdt gula pasir

Taburan:

1 sdm minyak goreng

1/4 btr kelapa, kupas dan parut

Haluskan:

3 bh cabai merah

1/4 sdt terasi

2 cm jahe

2 bh bawang merah

1 sdt garam

1/2 sdt gula pasir

Pelengkap:

teri nasi tawar goreng

udang goreng

mentimun

daun kemangi

bawang goreng

Cara membuat:

  1. Sangrai kelapa parut sampai kering kecokelatan, angkat, haluskan.
  2. Panaskan minyak goreng, tumis bawang merah, kunyit, serai, dan terasi sampai harum.
  3. Masukkan jintan, garam, gula pasir, dan kelapa sangrai halus, aduk rata. Masukkan nasi, aduk rata dan matang, angkat, sisihkan.
  4. Buat taburan: panaskan minyak goreng, tumis bumbu halus sampai harum dan matang, masukkan kelapa parut, aduk sampai matang dan kering kecokelatan, angkat.
  5. Sajikan nasi ulam di piring saji, taburi saur dan pelengkapnya.

Untuk 6 orang